Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Mendayung di antara China dan Amerika

Kompas.com - 17/05/2023, 07:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Under Sukarno and Suharto, Indonesia acted with greater pur-pose and a stronger international identity, but since 1999 five successive presidents (Habibie, Wahid, Sukarnoputri, Yudhoyono, and Widodo) have pursued very insular policy agendas and have eschewed assuming a leadership role in the region or acting like a middle power internationally", tulis David Shambaugh, dalam bukunya "Where Great Powers Meet: America and China in Southeast Asia" terbitan tahun 2021.

KARENA bersikap seperti kekuatan menengah (middle power), mau tak mau Indonesia mengikuti irama negara-negara yang berada dalam kategori yang sama, terutama sesama anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Indonesia ikut memainkan kartu "strategic balancing" atau bermain dua kaki, meskipun strategi ini tidak semudah diucapkan.

Akan ada masa dan waktunya pendulum kekuasaan domestik condong ke salah satu sisi alias sedikit menjauh dari salah satu kekuatan besar atas alasan-alasan strategis tertentu.

Dari hasil kajian guru besar kajian tentang Asia, David Shambaugh di atas, disimpulkan bahwa mayoritas negara anggota ASEAN sudah condong ke China ketimbang ke Amerika Serikat.

Menurut beliau, secara geopolitik, Amerika Serikat hanya bisa benar-benar bertopang kepada tiga negara di kawasan ASEAN, yakni Filipina, Thailand, dan Singapura. Jika mau ditambahkan satu lagi, kata David, akan jatuh ke Vietnam.

Namun meskipun begitu, tidak berarti empat negara ini tak bergantung kepada China. Justru secara ekonomi, keempat negara ini sangat bergantung kepada China.

Baik Singapura, Thailand, Filipina, maupun Vietnam, terikat secara ketat dengan China, baik dari sisi perdagangan maupun dari sisi investasi asing. Namun, porsi keterikatan ekonominya masih terbilang setara alias bukan subordinatif.

Di sisi lain, secara geopolitik dan pertahanan, sejarah keterikatan geopolitik telah lama bersemi dengan Amerika Serikat, yang tertuang dalam berbagai dokumen kerja sama strategis, baik dalam bentuk penyediaan pangkalan militer untuk Amerika Serikat, atau kesepakatan penguasaan kawasan strategis yang terkait dengan penjagaan kepentingan kedua belah pihak atas Sea Lines of Communication (SLOC).

SLOC merupakan rute maritim antarsatu pelabuhan ke pelabuhan lain yang digunakan sehubungan dengan aktifitas perdagangan, pengiriman logistik demikian pula kegiatan angkatan laut.

Artinya, meskipun keempat negara tersebut berpeluang berada di pihak Amerika Serikat, keempatnya tetap mendekatkan diri kepada China dan akan berusaha menjaga stabilitas relasi dengan China dalam segala daya dan upaya.

Seperti ditulis David, dalam kondisi yang tidak terlalu kritis, keempat negara itu akan berusaha untuk tidak memilih salah satu pihak alias netral.

Serupa dengan negara anggota ASEAN lainnya yang menurut David sebenarnya juga cenderung lebih condong ke China.

Rata-rata akan tetap menolak untuk memilih condong kepada salah satu pihak, meskipun secara ekonomi sangat bergantung kepada China.

Karena sikap negara anggota ASEAN yang serupa saat menyiasati peta geopolitik kawasan belakangan ini, tak pelak Indonesia memainkan kartu yang sama, yakni strategic balancing.

Secara ekonomi, China menjadi pasar utama untuk komoditas ekspor Indonesia, terutama komoditas bahan mentah seperti batu bara dan nikel, yang sangat berguna bagi China untuk menopang ekonominya.

Seiring dengan itu, tentu investasi dari China untuk mengamankan bahan mentah dari Indonesia juga sepaket dengannya.

Jadi tidak heran di Pulau Sulawesi, misalnya, pulau yang menawarkan limpahan nikel, didominasi oleh perusahaan-perusahaan dari China yang bekerja sama dengan pengusaha domestik (kerap juga diistilahkan sebagai oligar-oligar nasional).

Risikonya, relasi ekonomi dengan China terkesan sangat subordinatif, bahkan merkatilistik. China memang menjadi mitra dagang utama Indonesia, tapi neraca dagang dengan China nyaris selalu defisit.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun neraca dagang Indonesia secara keseluruhan mencatatkan surplus, tapi terhadap China neraca dagang kita masih defisit.

Impor nonmigas dari China per Januari–April 2023, adalah sebesar 19,18 miliar dollar AS (32,50 persen dari total impor non migas nasional), sementara ekspor nonmigas sebesar 4,62 miliar dollar AS.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com