Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Trias Kuncahyono
Wartawan dan Penulis Buku

Trias Kuncahyono, lahir di Yogyakarta, 1958, wartawan Kompas 1988-2018, nulis sejumlah buku antara lain Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir; Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir; Kredensial, Kearifan di Masa Pagebluk; dan Pilgrim.

Beijing, antara Riyadh dan Teheran

Kompas.com - 12/04/2023, 12:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEKALAHAN AS dan Rusia, kemenangan China. Begitu “kesimpulan” sederhana dan cepat dari dicapainya kesepakatan antara Arab Saudi dan Iran untuk memulihkan hubungan diplomatik mereka.

Kesepakatan yang perantarai China itu ditandatangani beberapa waktu lalu di Beijing, China. Ini sebuah terobosan baru, langkah dramatis mengingat hubungan kedua negara selama ini tidak baik dan terus bersaing dan berseteru. Maka, tercapainya kesepakatan tersebut merupakan perkembangan positif.

Mengapa kesepakatan itu merupakan kekalahan AS dan Rusia? AS selama ini disebut sebagai mediator perdamaian di Timur Tengah. Terakhir, AS memprakarsai ditandatanganinya “Abraham Accord” (2020) yang menjadi pegangan normalisasi hubungan diplomatik beberapa negara Arab dengan Israel.

Baca juga: Raja Salman Undang Presiden Iran Kunjungi Arab Saudi, Disambut dengan Baik

Belakangan ini, Moskwa juga menyatakan diri sebagai alternatif dari Washington sebagai mediator perdamaian di Timur Tengah yang efektif karena, misalnya, Rusia memiliki hubungan baik dengan Iran, sementara AS tidak.

Namun, dengan tercapainya kesepakatan antara Arab Saudi dan Iran -meski belum sampai pada kesepakatan damai atau menyelesaikan banyak perbedaan di antara kedua negara-  China telah muncul sebagai alternatif lain, sebagai mediator perdamaian, yang tidak bisa dilakukan oleh AS dan Rusia.

Bila pada akhirnya nanti hubungan diplomatik yang putus sejak tujuh tahun lalu itu benar-benar pulih, akan berpengaruh sangat besar sekaligus berkonsekuensi luas terhadap Timur Tengah. Salah satu hasil akhir dari kesepakatan tersebut, bila benar-benar tercapai hubungan baik dan saling percaya antara kedua negara, maka bisa jadi akan mengurangi ketegangan di Yaman (Iran dan Arab Saudi mendukung pihak-pihak yang berseberangan), Lebanon, Suriah, dan Irak.

Namun, kesepakatan itu (sekali lagi bila memulihkan hubungan diplomatik) akan bisa “merintangi” terbangunnya hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Israel seturut “Abraham Accord”.

Bila ini terjadi, maka kerugian bagi AS dan menurunkan citra AS sebagai mediator perdamaian. Kecuali, Arab Saudi justru malah bisa menjadi perantara terbangunnya hubungan Jerusalem dan Teheran.

Namun, sebelum semua itu terwujud masih diperlukan langkah lanjutan untuk merealisasikan kesepakatan. Bisa dikatakan, kesepakatan tersebut merupakan langkah pertama yang mereka ambil untuk langkah-langkah selanjutnya yang amat penting.

Bukankah kata Lao Tzu, perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah pertama. Tanpa langkah pertama, tidak ada langkah-langkah lain. Langkah pertama itu dilakukan di Beijing. Untuk mencapai kesuksesan, kedua negara perlu memulai upaya berkelanjutan dan jangka panjang karena tingginya perbedaan dan persaingan keduanya selama ini.

Presiden China Xi Jinping (kiri) bersama penguasa de facto Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (kanan).DW INDONESIA Presiden China Xi Jinping (kiri) bersama penguasa de facto Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (kanan).
Prinsip “Non-interference”

Tidak berlebihan kalau dikatakan, tercapainya kesepakatan antara Arab Saudi dan Iran merupakan keberhasilan diplomasi China. Ini juga keberhasilan yang signifikan bagi Presiden China, Xi Jinping, yang mencatat sejarah karena terpilih kembali untuk masa jabatan ketiga pada hari yang sama.

Sebenarnya, gagasan untuk merujukkan Arab Saudi dan Iran disampaikan Xi Jinping saat menghadiri konferensi tingkat tinggi regional di Riyadh, Arab Saudi, Desember tahun lalu. Ketika itu, Xi Jinping mengusulkan pertemuan tingkat tinggi antara monarki Arab Saudi dan Iran di Beijing, pada 2023 (The Wall Street Journal, 12/3). Upaya itu juga dilakukan China lewat Irak.

Inisiatif diplomatik Xi menunjukkan bahwa Beijing melihat peran sentral untuk dirinya sendiri sebagai perantara kekuatan baru di Timur Tengah, wilayah strategis yang selama berdekade pemain utamanya adalah AS.

Baca juga: Memaknai Normalisasi Hubungan Diplomatik Arab Saudi dan Iran

Dengan kebijakan baru itu, China tidak lagi hanya fokus pada masalah energi dan ekonomi-perdagangan, tetapi sudah masuk ke politik dan konflik di kawasan. Hal ini menandai babak baru selain peran China di Timur Tengah juga dalam persaingan antara Beijing dan Washington.

Di masa-masa sebelumnya, Timur Tengah seperti backwater bagi diplomasi China, yang hingga kini masih memegang teguh prinsip diplomasi Deng Xiaoping, yakni “sembunyikan kekuatanmu, tunggu sampai waktunya tiba.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

Global
[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

Global
Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Global
Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Global
Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Global
Wanita Ini Didiagnosis Mengidap 'Otak Cinta' Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Wanita Ini Didiagnosis Mengidap "Otak Cinta" Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Global
Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Global
Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Global
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Global
Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Global
Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Global
Bandung-Melbourne Teken Kerja Sama di 5 Bidang

Bandung-Melbourne Teken Kerja Sama di 5 Bidang

Global
Mengenal Batalion Netzah Yehuda Israel yang Dilaporkan Kena Sanksi AS

Mengenal Batalion Netzah Yehuda Israel yang Dilaporkan Kena Sanksi AS

Global
Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Internasional
Taiwan Akan Singkirkan 760 Patung Pemimpin China Chiang Kai-shek

Taiwan Akan Singkirkan 760 Patung Pemimpin China Chiang Kai-shek

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com