Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ASEAN Dikritik Capain Penyelamatan Krisis Iklim Masih Kurang

Kompas.com - 11/11/2022, 17:59 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menilai capaian ASEAN dalam penyelamatan krisis iklim masih kurang.

Peneliti keanekaragaman hayati dan iklim AEER, Ilham Setiawan Noer, pada Kamis (10/11/2022), mengatakan ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan menghambat target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati global. 

Padahal ASEAN merupakan kawasan penting perlindungan keanekaragaman hayati global karena mencakup 20 persen spesies flora dan fauna global, 30 persen terumbu karang global, dan 35 persen hutan mangrove global.

Baca juga: ASEAN Sepakat Mengakui Timor Leste sebagai Anggota

Di samping itu, empat negara di Asia Tenggara termasuk di antara 25 hotspot keanekaragaman hayati global, dan tiga negara termasuk di antara 17 negara megabiodiversitas di dunia, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Semua negara anggota ASEAN juga terdaftar sebagai pihak yang meratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD).

Berdasarkan laporan ASEAN Biodiversity Outlook 2 yang dikeluarkan oleh ASEAN Centre for Biodiversity (ACB), disebutkan bahwa terdapat tiga level pencapaian target, yaitu warna hijau yang berarti target dicapai oleh sebagian besar negara ASEAN, warna kuning berarti setengah negara ASEAN, dan warna merah berarti kurang dari setengah negara ASEAN.

Hasilnya, dari 20 target Aichi, hanya satu target yang berwarna hijau, 12 target berwarna kuning, dan 7 target berwarna merah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya penyelamatan keanekaragaman hayati di regional ASEAN belum maksimal.

Baca juga: Peliknya Pembahasan Rencana Perdamaian Myanmar dalam KTT ASEAN

Laporan ASEAN Biodiversity dikeluarkan sebagai hasil pemantauan terhadap perkembangan pencapaian penyelamatan keanekaragaman hayati 2011-2020 (Aichi Biodiversity Target).

Selain itu, laporan “The 6th ASEAN Energy Outlook 2017-2040” yang diterbitkan oleh ASEAN Centre for Energy (ACE) menyatakan bahwa dalam skenario Business as Usual, total pasokan energi primer ASEAN akan terus tumbuh sebesar 40 persen pada 2017-2025 dan sebagian besar didominasi oleh bahan bakar fosil.

Ilman menerangkan, dominasi bahan bakar fosil juga terjadi pada total konsumsi energi, dengan nilai mencapai dua pertiga dari total konsumsi energi primer.

Sebelumnya, negara-negara di dunia berkomitmen mencapai batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang dideklarasikan pada Perjanjian Paris tahun 2015.

Tujuan komitmen ini adalah mencegah perubahan iklim yang semakin parah yang dapat memperburuk kekeringan, kelaparan, dan konflik di seluruh dunia.

“Bagaimana kaitan antara target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati dengan energi fosil? Tingginya ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan memicu peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga akan menghambat pencapaian batas kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius. Kondisi ini akan memperparah perubahan iklim global,” ujar Ilham.

Baca juga: Ukraina Bakal Teken Pakta Perdamaian ASEAN, Untuk Apa?

“Energi fosil khususnya batubara akan mengancam keanekaragaman hayati dalam bentuk degradasi dan deforestasi habitat, fragmentasi habitat, pencemaran udara dan air, dan peningkatan suhu bumi,” tambah dia, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (11/11/2022).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com