HELSINKI, KOMPAS.com - Tak lama setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial untuk perang di Ukraina, Alex yang merupakan mantan perwira militer Rusia masuk ke mobilnya dan pergi ke Finlandia dengan membawa satu koper.
"Saya tidak ingin membunuh orang-orang Slavia saya, saudara laki-laki saya, saudara perempuan saya," kata pria paruh baya itu kepada AFP dari kamar hotel sederhana di Finlandia, tempat ia tiba pada Kamis (22/9/2022).
"Saya secara fisik terhina berada di hadapan warga Rusia kami yang mendukung perang", lanjut insinyur IT tersebut dikutip pada Senin (26/9/2022).
Pria paruh baya kelahiran Crimea itu berbicara kepada AFP dengan syarat tidak mengungkapkan identitas lengkapnya, karena khawatir akan istri dan anaknya yang ditinggalkan di Rusia.
"Mereka adalah sandera, jika saya menunjukkan wajah saya mereka akan dipenjara," imbuhnya.
Oleh karena berlatar belakang militer, Alex khawatir dia termasuk orang-orang yang ingin dikirim Rusia ke garis depan.
Namun, semua berubah baginya ketika dia ikut protes di Saint Petersburg sehari setelah pengumuman mobilisasi, dan melihat betapa sedikit orang Rusia yang bergabung.
Dia menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan Rusia dan yakin negara itu akan menjadi berantakan.
"Saya tahu seperti apa tentara Rusia dari dalam, saya sangat yakin bahwa Putin akan kalah."
Lahir di Sevastopol di Crimea selama masa Soviet, Alex pernah memegang paspor Ukraina tetapi tidak dapat memiliki kewarganegaraan ganda ketika pindah ke Rusia untuk mengejar karier militer.
Alex berkata, orangtuanya menganggapnya pengkhianat dan dia tidak akan terkejut jika ibunya melaporkannya ke dinas intelijen FSB Rusia.
Segera setelah pembatasan Covid-19 dicabut dan perbatasan dengan Finlandia dibuka kembali pada Juli 2022, Alex mulai bekerja dengan jaringan sukarelawan yang disebut Rubikus, untuk membantu evakuasi paksa warga Ukraina meninggalkan Rusia.
Dengan tujuan ini, ia memperoleh visa turis untuk mengantar orang Ukraina ke Finlandia dan Estonia.
Baca juga: