Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Tengah Perang Ukraina, Perusahaan Minyak Justru Untung Besar

Kompas.com - 05/08/2022, 18:31 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Krisis energi global dan inflasi yang tinggi menyebabkan kekhawatiran dan ketidakpastian bagi konsumen, tetapi bagi perusahaan yang bergerak dalam bisnis minyak, ini adalah masa-masa panen besar.

Pada pekan ini, raksasa minyak BP melaporkan peningkatan laba yang besar untuk kuartal kedua tahun ini. Perusahaan Inggris itu mencatat laba kuartalan tertinggi dalam 14 tahun, dengan keuntungan 8,5 miliar dollar AS, lebih tiga kali lipat dari yang dicatatnya untuk periode yang sama tahun lalu.

Baca juga: Malaysia Ikut Tercekik Harga Minyak Goreng, PM Diprotes Pedagang karena Coba Batasi Subsidi

Raksasa energi AS, ExxonMobil dan Chevron, juga baru-baru ini mengumumkan rekor laba kuartalan. Exxon mengantongi laba 17,9 miliar dollar AS pada kuartal yang berakhir 30 Juni lalu, memecahkan rekor sebelumnya sebesar 2 miliar dollar AS. Laba kuartal kedua Chevron adalah 11,6 miliar dollar AS, juga merupakan rekor baru.

Perusahaan minyak terbesar Eropa, Shell, pekan lalu mengumumkan telah memecahkan rekor laba untuk kuartal kedua berturut-turut, dengan keuntungan 11,5 miliar dollar AS.

Baca juga: Jerman Kembali Gunakan Pembangkit Listrik Batu Bara dan Minyak, Kanselir: Cuma Sementara

Pajak istimewa atas keuntungan berlebihan?

Keuntungan besar-besaran perusahaan raksasa minyak.DW INDONESIA Keuntungan besar-besaran perusahaan raksasa minyak.

Rekor keuntungan besar itu datang dari melonjaknya harga energi di pasar dunia yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina. Padahal, banyak negara saat ini sedang menghadapi inflasi tinggi yang meningkatkan kekhawatiran tentang resesi ekonomi.

Karena itu, seruan makin lantang agar kerugian berlebihan itu dikenai pajak istimewa. Bulan Mei lalu, Inggris sudah mengumumkan pajak "rezeki nomplok" setinggi 25 persen atas keuntungan berlebihan dari produsen minyak dan gas. Italia juga telah menerapkan aturan serupa.

Di AS, Presiden Joe Biden mendapat tekanan dari anggota partainya sendiri untuk memperkenalkan undang-undang pajak serupa, tetapi langkah seperti itu akan menghadapi rintangan besar, terutama dari kubu Republik.

Baca juga: Jerman Mantap Setop Impor Minyak dan Batu Bara Rusia

Di Jerman, Menteri Keuangan Christian Lindner secara konsisten menolak seruan untuk pajak semacam itu, meskipun mitra koalisinya SPD dan Partai Hijau sedang membicarakannya.

Perusahaan-perusahaan minyak secara tegas menentang pajak tambahan itu. Sebagai gantinya, mereka berjanji untuk meningkatkan investasi dalam energi yang lebih hijau. Direktur Utama Shell Ben van Beurden menyatakan lebih mendukung investasi hijau sebagai alternatif pajak intimewa.

"Ada tanggung jawab dalam menghasilkan uang, dan bentuk tanggung jawab itu adalah bahwa kami terus berinvestasi dalam ketahanan energi dan dalam transisi energi," katanya.

"Pada akhirnya, itu akan membuat masyarakat kurang bergantung pada volatilitas minyak dan gas," sambungnya.

Baca juga: Sri Lanka Kesulitan Bayar Minyak, Stok BBM Hanya Bertahan Sehari

Harga minyak akan tetap tinggi

Terutama pejabat serikat pekerja dan aktivis lingkungan mengkritik sikap raksasa minyak itu dalam konteks krisis energi dan inflasi.

"Keuntungan yang menggiurkan ini merupakan penghinaan bagi jutaan pekerja yang berjuang untuk bertahan hidup karena melonjaknya tagihan energi," kata Frances O'Grady, Sekretaris Jenderal Kongres Serikat Pekerja di Inggris.

Awal tahun ini, Greenpeace mengecam "pencurian tak tahu malu" oleh perusahaan minyak dan menyebut keuntungan kuartal pertama mereka "tidak bermoral."

Para pengamat memperkirakan harga minyak tidak akan turun dalam waktu dekat. "Risiko utama kenaikan harga minyak adalah resesi. Keengganan untuk berinvestasi akan bertahan lebih lama, karena trauma fase penurunan harga minyak tujuh tahun sebelumnya belum hilang dari ingatan," kata Bob McNally, Presiden Rapidan Energy Group, perusahaan konsultasi yang bermarkas di Washington DC.

Dia juga mengatakan, jika harga minyak turun tajam lagi, perusahaan akan menderita secara langsung. "Ketika harga jatuh seperti yang terjadi dua tahun lalu, keuntungan pun runtuh," jelasnya.

Baca juga: Volume Pasokan Minyak dan Gas Rusia ke India Naik 10 Kali Lipat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com