Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Logika Kapitalis Industri Pertahanan AS terhadap Timur Tengah

Kompas.com - 22/07/2022, 16:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AMERIKA Serikat (AS) saat ini dapat dikatakan sebagai pemegang kendali utama hegemoni industri pertahanan dunia. Menurut penelitian Stockholm International Peace Research Institute pada Desember 2021, dari 100 industri pertahanan dengan penjualan terbesar di dunia, sebanyak 41 di antaranya adalah perusahaan AS.

Dari 10 perusahaan dengan penjualan alutsista terbesar, 6 di antaranya industri pertahanan AS. Lima besar perusahaan dengan penjualan senjata terbesar semuanya juga diduduki negara yang populer dengan pesawat F-16 Fighting Falcon tersebut, yaitu Lockheed Martin, Raytheon, Boeing, Northrop Grumman, dan General Dynamics.

Baca juga: Daftar Negara Pengimpor Senjata Militer Terbesar di Dunia

Menariknya, jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, Timur Tengah merupakan pasar ekspor senjata AS yang paling agresif. Terlepas dari kondisi awal pandemi tahun 2020, hampir setengah (47 persen) dari total ekspor senjata AS ditujukan untuk negara-negara Timur Tengah.

 

Sekitar 24 persen dari total ekspor senjata AS ke Timur Tengah adalah Arab Saudi. Kerajaan Arab Saudi telah menjadi importir sebesar 10 persen dari keseluruhan ekspor alutsista (alat utama sistem senjata) AS pada tahun 2011 hingga 2015. Bahkan, impor senjata ke kawasan ini melonjak lebih dari 25 persen selama periode 2016 hingga 2020.

Kenaikan terbesar berasal dari Qatar (361 persen), Mesir (136 persen), dan Arab Saudi (61 persen). Hal ini terjadi di tengah ekskalasi konflik Timur Tengah yang seolah tidak berujung, dan semakin menurunnya ekspor senjata Rusia dan China ke berbagai negara.

Sejak April 2015, Presiden Barack Obama menyatakan bahwa sikap AS terhadap Timur Tengah sangatlah jelas, yaitu pemeliharaan perdamaian dan stabilitas regional. Namun, banyak pengamat, bahkan pengamat AS sendiri, yang mengekspresikan ketidaksesuaian tindakan negara itu dengan statement tersebut, bahkan hingga pemerintahan Presiden Joe Biden saat ini.

Kondisi Ini tentu juga merupakan sebuah ironi, di saat kini AS  sudah mulai tidak menganggap Timur Tengah sebagai wilayah yang menarik demi kepentingan ekonominya karena pengaruh China di Indo-Pasifik serta menarik pasukan di Irak dan Afghanistan, perang Rusia-Ukraina justru membuatnya kembali menggarap kawasan itu. Salah satu metodenya, selain minyak, juga lewat industri pertahanannya. Meskipun terkesan hipokrit, nyatanya sikap AS ini justru membangun industri pertahanannya menjadi raksasa dunia.

Industrialisasi bidang pertahanan

Lalu, bagaimana seharusnya kita menafsirkan strategi ataupun logika AS yang sesungguhnya dalam membangun kemajuan industri pertahanannya? Dalam menjawab pertanyaan ini, logika kapitalis sebagai pemilik modal tetaplah berlaku. Sejak dahulu, perkembangan produksi persenjataan untuk mendukung pertahanan dan keamanan negara, erat kaitannya dengan proses industrialisasi. Industrialisasi dalam bidang pertahanan tentu sarat dengan modernisasi, inovasi teknologi, dan perkembangan ekonomi.

Tentara AS di Suriah.AFP / DELIL SOULEIMAN Tentara AS di Suriah.
Namun, jika dikaitkan dengan filosofi industrialisasi yang mengedepankan rasionalitas, industri tetaplah harus dibangun atas dasar pertimbangan efisiensi dan kalkulasi bisnis, tidak lagi mengacu pada moral, emosi, tradisi, ataupun kebiasaan. Hal ini dilakukan agar keberlangsungan dan kegiatan suatu industri, apapun bidangnya, dapat terjaga dengan baik.

Dalam membangun dan memajukan industri pertahanan, modal yang harus dikeluarkan juga tidaklah sedikit. Tentunya, setiap investor industri pertahanan mengharapkan imbal hasil dari modal yang dikeluarkannya. Jika mengacu pada filosofi industrialisasi yang tidak terikat pada nilai-nilai moral, pemanfaatan konflik berkepanjangan di Timur Tengah juga secara tidak langsung mendukung kemajuan industri pertahanan AS.

Baca juga: Penjualan Senjata AS ke Arab Saudi Senilai Rp 113 Triliun Jalan Terus

Permasalahan ideologi, seperti banyaknya konflik internal suatu negara maupun regional, juga turut membuka potensi pasar alutsista. Negara-negara sekutu AS di Timur Tengah mau tidak mau harus memperkuat alutsistanya untuk meningkatkan deterrent effect dan menghindari turbulensi politik regional.

Laporan dari Pentagon’s Defense Security Cooperation Agency menyatakan bahwa industri pertahanan AS telah mengekspor produk persenjataannya dengan total nilai 198 miliar dolar AS (setara dengan Rp 2.972 riliun) ke negara-negara Teluk Arab-Persia sejak tahun 2009. Pada 2015-2016, AS menjual senjata senilai 33 miliar dolar (atau Rp 495 triliun) ke negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC).

Terdapat dua alasan utama dalam pembelian senjata tersebut, yaitu untuk mewaspadai perkembangan teknologi nuklir Iran, melawan kebangkitan gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), serta pemberontakan kelompok Houti di Yaman.

Besarnya gelar pasukan AS di Timur Tengah turut membuka permintaan yang lebih besar dalam produksi persenjataannya. Meskipun Presiden Joe Biden dalam keterangannya awal tahun ini menyatakan ingin segera mengakhiri perang tak berkesudahan di Timur Tengah, nyatanya masih terdapat lebih dari 30.000 personel militer AS yang bertahan baik di dalam maupun periferi wilayah tersebut.

Selama personel AS masih bertahan di wilayah tersebut, kebutuhan akan suplai senjata bagi militernya pun tetap harus terdukung. Hal ini secara logis tentu merupakan bagian dari pasar domestik bagi industri militer AS sendiri. Semakin banyak operasi militer ataupun gelar pasukan yang dilakukan, kebutuhan dalam negeri untuk senjatanya pun semakin meningkat. Wajar apabila penarikan pasukan dari Timur Tengah justru akan merugikan industri pertahanan AS.

Berdasarkan hal-hal tersebut, apa yang dilakukan AS untuk memajukan industri pertahanannya dapat dikatakan sebagai upaya yang oportunistik dan sejalan dengan logika kapitalisme. Meskipun AS dianggap hipokrit dan hanya sebatas memenuhi kepentingan ekonominya saja, hal ini sebenarnya sudah sejalan dengan ideologinya sendiri. Kapitalisme dan liberalisme, sesungguhnya merupakan konsep ideologi yang sejalan dan memengaruhi setiap sendi kehidupan AS, termasuk di dunia industrinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com