DALAM berapa hari terakhir, jagat maya dihiruk-pikukkan oleh beragam komentar tentang misi perdamaian yang coba dilakukan oleh Presiden Joko Widodo terhadap konflik Rusia-Ukraina.
Usai menghadiri Pertemuan G7 di Jerman, Jokowi mengunjungi Ukraina dan Rusia untuk bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Misinya: mendamaikan kedua seteru yang sudah 5 bulan berperang.
Banyak pihak yang memuji langkah diplomasi Jokowi ini sebagai inisiatif cemerlang lagi berani.
Tapi tak sedikit juga yang meremehkan. Misi perdamaian Jokowi dianggap tidak mampu mewujudkan perdamaian, tidak ada langkah terobosan.
Seturut fatsun diplomasi, proses perdamaian setidaknya harus melalui tiga tahapan proses: komunikasi, penghentian kekerasan dan dialog untuk berunding.
Para pelaku diplomasi terkhusus yang mendalami isu penyelesaian konflik pasti mahfum bahwa tiga tahapan proses itu sudah dianggap sebagai adab diplomasi. Komunikasi antara dua pihak yang bertikai menjadi keniscayaan.
Bayangkan, bagaimana bisa berdamai jika kedua seteru tidak saling menyapa dan bicara? Di sinilah komunikasi awal perlu. Pembicaraan dan negosiasi perdamaian tak akan bisa dimulai jika tidak ada komunikasi.
Sebab, komunikasi awal dibutuhkan agar kedua seteru bisa mengetahui posisi dan apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak.
Untuk itu dibutuhkan pihak ketiga untuk mediasi agar kedua pihak dapat berkomunikasi. Dalam konteks inilah, pertemuan empat mata antara Jokowi dengan Zelensky dan Putin mutlak perlu.
Dengan menemui kedua pihak bertikai itu secara langsung, Jokowi sejatinya sudah membuka pintu komunikasi.
Pada tahap selanjutnya, untuk memulai dialog dan perundingan kekerasan harus diakhiri. Perang harus dihentikan. Inilah himbauan yang disampaikan kepada Zelensky dan Putin.
Berhentinya tindak kekerasan dan perang karena gencatan senjata menghadirkan ruang kondusif untuk berunding mencari jalan damai.
Alasan inilah yang mendorong Jokowi ke Ukraina dan Rusia: pra-syafrat untuk dimulainya dialog dan perundingan adalah menghentikan kekerasan dan peperangan.
Perlu dipahami bahwa proses komunikasi, penghentian kekerasan dan dialog dalam setiap upaya penyelesaian konflik dan inisiatif perdamaian butuh waktu lama, bertahun-tahun, melalui proses panjang dan berliku.