CARTER Malkasian, yang beberapa tahun pernah menjadi penasehat salah seorang letnan jenderal Amerika Serikat (AS) di Afghanistan, dalam buku barunya The American War in Afganistan: A History (2021), meyakini bahwa alasan mendasar mengapa begitu sulit melemahkan Taliban adalah karena kaum Taliban memiliki keyakinan yang menjadi justifikasi moral untuk berjuang. Pejuang Taliban berperang atas nama keyakinan. Mereka berperang untuk janat (surga) dan untuk membunuh orang yang menurut mereka adalah infidel atau kafir (ghazi).
Tentu saja, bagi orang luar, hal semacam itu terdengar aneh di zaman modern ini. Tetapi bagi Taliban, boleh jadi memang keyakinan tersebut adalah alasan mereka untuk hidup dan berjuang. Karena itu, mereka akan membelanya sampai tetesan darah terakhir.
Baca juga: Taliban: AS Rintangan Terbesar Pengakuan Diplomatik
Sementara itu, kata Malkasian, tentara pemerintahan Afghanistan justri sebaliknya, mereka berperang demi uang, yakni uang dari pemerintah AS tentunya. Karena itu, tentara Afghanistan memiliki justifikasi moral yang sangat lemah dibanding Taliban.
Malkasian memberikan beberapa contoh teknis di lapangan yang dia temui di Afghanistan. Katanya, di lapangan selalu terjadi chit chat via radio walkie talkie antara tentara pemerintah Afganistan dengan Taliban. Mereka saling bully dan sindir.
Salah satu Komandan Taliban mengatakan kepada lawannya, “You are puppets of America.” Lalu tentara pemerintah Afghanistan membalas, “You are the puppets of Pakistan.” Kembali komandan Taliban membalas, “The Americans are infidels. The Pakistanis are Muslims.” Dan tentara pemerintahan Afghanistan diam seribu bahasa, tanpa respon.
Bagaimanapun, contoh tersebut adalah cerita teknis yang ada di lapangan. Tapi secara teoritik, teori Malkasian masih perlu diuji karena tak ada alat ukur yang bisa memastikan bahwa obrolan sederhana tersebut adalah faktor pendorong utama yang membuat Taliban memiliki endurance dan survivability yang tinggi. Apalagi, cerita tersebut muncul dalam bentuk ledek-ledekan via walkie talkie, yang boleh jadi memang hanya sebentuk bully dan candaan, yang tidak ada kaitanya dengan keyakinan.
Sementara di lapangan, terutama di barisan bawah Taliban, tidak hanya percakapan seperti itu yang hadir. Ada juga beberapa fakta aneh yang justru tidak sejalan dengan ajaran Islam. Ada beberapa praktik yang terkadang membuat bingung. Misalnya ada informasi dari lapangan, sebagaimana ditulis Hasan Abbas dalam bukunya The Taliban Revival (2016) bahwa ada praktik wife sharing (berbagi istri) di antara sesama tentara Taliban. Ada pula dalih untuk tidak melakukan shalat karena diperbolehkan selama masa perjuangan. Kedua cerita ini tentunya tidak cocok dengan ajaran Islam yang dipahami banyak muslim.
Begitu pula dengan masalah perdagangan candu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Taliban menjadi backing, bahkan eksekutor, perdagangan candu (heroin) terbesar di dunia saat ini. Penghasilan Taliban dari perdagangan candu tercatat jutaan dollar dalam beberapa tahun belakangan. Korban yang paling parah adalah Iran, yang berbatasan langsung dengan Afghanistan. Iran memiliki angka kecanduan narkoba tertinggi di dunia.
Baca juga: Utusan HAM PBB Desak Taliban Cabut Pembatasan Terhadap Perempuan
Sementara itu, Christina Lamp, yang menulis buku laris Malala bersama dengan Malala Yousafzai (tentang perjuangan seorang perempuan di era Taliban), menulis di majalah Foreign Affair edisi Juli/Agustus 2021 untuk menanggapi buku baru Carter Malkasian, meyakini bahwa faktor pendorong utama Taliban bukanlah keyakinan, tapi justru kepercayaan diri yang sudah diasah melalui sejarah, yakni bahwa Taliban memiliki track record dan sejarah mengalahkan negara adidaya, sebut saja misalnya Britania Raya dan Soviet.
Kesimpulan tersebut dia dapat dari percakapan demi percakapan yang dilakukan dengan pejuang Taliban selama melakukan liputan di Afghanistan. Jadi, menurut Christina, kehadiran kepercayaan diri tersebut membuat Taliban tetap konsisten dan persisten untuk terus berjuang mengusir penjajah, termasuk AS.
Tentu bisa dengan mudah dibayangkan jika faktor-faktor tersebut tidak ada, maka sangat besar kemungkinan Taliban tidak akan seagresif hari ini. Sebut saja misalnya jika AS berhasil membangun pemerintahan sipil yang didukung oleh kekuatan militer Aghanistan yang tangguh, atau jika Abdul Ghani Baradar masih berada di dalam penjara sempai hari ini, atau jika Pakistan tidak menyediakan sanctuary untuk pejuang-pejuang Taliban dan Al Qaeda yang mundur ke Pakistan di tahun 2001, tentu situasinya akan jauh berbeda hari ini, Taliban berkemungkinan besar masih tercecer di banyak tempat persembunyian.
Apalagi, jika Moskwa dan Beijing sama sekali tidak membuka jalur komunikasi dengan Taliban, dengan alasan yang sama dengan yang dimiliki hari ini oleh AS, maka Taliban dipastikan tidak memiliki alternatif aliansi strategis untuk tetap berjuang sendiri di lapangan melawan pemerintahan Ashraf Ghani yang didukung oleh AS dan NATO.
Jadi saya kira, keberhasilan Taliban melakukan “aksi come back” yang cukup impresif tahun lalu adalah dampak dari banyak faktor yang sangat bisa divalidasi secara teoritik. Hampir semua faktor tersebut adalah keberuntungan tersendiri bagi Taliban, yang membawanya kembali bertahta di Kabul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.