PERANG enam hari (Six Days War) bulan Juni 1967 sangat bersejarah bagi Israel. Pasalnya, perang yang berlangsung dari tanggal 5 sampai 10 Juni itu mendadak mengubah peta geopolitik di Timur Tengah dengan melejitkan nama Israel sebagai negara baru berkekuatan udara luar biasa.
Negara yang sehari setelah deklarasi kemerdekaannya tahun 1948 langsung digempur oleh dunia Arab tersebut mendadak memiliki leverage angkatan udara dibanding kompetitor utamanya ketika itu, Mesir dan Suriah.
Serangan udara cepat Israel itu memang dimaksudkan sebagai kejutan berupa preemptive strike bagi tiga negara tetangganya, terutama Mesir, yang kala itu digadang-gadang sedang bersiap-siap meluncurkan serangan ke Israel.
Tak tanggung-tanggung, bahkan Mesir saat itu sebenarnya sudah di-back-up penuh oleh Moskow.
Mesir mendapat jaminan dari Kremlin jika terjadi perang antara kedua negara, maka Moskow akan turun tangan membantu.
Namun akhirnya Kremlin mundur secara teratur karena faktor dahsyatnya serangan Israel yang memang berhasil membuat kekuatan udara Mesir benar-benar lumpuh total alias sangat tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan lebih lanjut, selain faktor Amerika Serikat juga tentunya.
Di bawah pimpinan operasi (Chief Operation) Yitzak Rabin dan garis perintah langsung dari Moshe Dayan sebagai menteri pertahanan, preemptive strike Six Days War memang terbilang sangat sukses dalam mengelabui badan intelijen Soviet, Mesir dan Suriah di satu sisi dan benar-benar mengejutkan musuh-musuh Israel tersebut di sisi lain.
Plus membuat Amerika Serikat sebagai patron Israel hanya bisa geleng-geleng kepala.
Serangan tersebut tercatat dalam buku sejarah perang sebagai salah satu serangan paling efektif dan mematikan.
Di belakang layar, sebenarnya Six Days War juga menyimpan bibit-bibit perang dunia ketiga karena berpeluang membuka kran perang nuklir antara Amerika Serikat dan Soviet.
Tapi karena keunggulan yang tak bisa ditawar lagi tersebut, Soviet dengan sendirinya mundur yang akhirnya membuat tiga pesawat bomber Amerika berkekuatan misil berkepala nuklir pun batal take off dari salah satu kapal induk Amerika Serikat di Mediterania.
Presiden Amerika Serikat Lyndon B Jhonson memang sudah bersiap-siap dengan katup pengaman yang sepadan setelah mengetahui Israel melakukan preemptive strike ke negara tetangganya.
Selain itu, bagi Isreal sendiri, perang enam hari tersebut sangat bersejarah dan berarti karena selain mengubah peta geopolitik dan peta nyata negara Israel atas Palestina, Mesir, Suriah, dan Yordania.
Gurun Sinai, Gaza, Dataran Tingga Golan, dan Tepi Barat (Westbank) berubah status menjadi bagian dari teritori Israel.
Dengan kata lain, Israel berhasil memperbesar daerah kekuasaannya dua kali lipat hanya dalam beberapa hari saja.