Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rezim Nazi Jerman Putar Musik Klasik Saat Bantai Yahudi

Kompas.com - 17/11/2021, 13:52 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

BERLIN, KOMPAS.com - Ketika Anita Lasker-Wallfisch yang saat itu berusia 17 tahun berdiri di pintu gerbang memasuki Kamp Auschwitz-Birkenau, dia yakin bahwa kematian akan segera menjemputnya.

Saat itu Desember 1943 dan Anita telah menyaksikan orang tuanya dideportasi, lalu menghilang. "Jadi inilah perhentian terakhir," ujar Anita Lasker-Wallfisch yang sekarang berusia 96 tahun, sambil mengingat apa yang ia pikirkan selama "upacara penerimaan" orang-orang baru di kamp itu.

Ketika seorang petugas bertanya apa yang bisa ia kerjakan, dengan ketakutan dia menjawab, "Saya bermain selo." Beberapa saat kemudian, dia didekati oleh pemimpin orkestra putri yang baru didirikan di kamp konsentrasi itu, Alma Rose.

"Saya berdiri telanjang dan kaku karena ketakutan, lalu Alma Rose bertanya kepada saya: 'Di mana dan apa yang kamu pelajari?' Itu adalah percakapan yang gila."

Baca juga: Reichskristallnacht, Salah Satu Peristiwa Terkejam Era Nazi Jerman

Bermain selo selamatkan hidupnya

Dalam sebuah wawancara untuk film dokumenter musik produksi DW yang berjudul Der Klang der Diktatur - Klassik unterm Hakenkreuz, yang kurang lebih artinya: Suara Kediktatoran - Musik Klasik di Bawah Lambang Swastika, Anita Lasker-Wallfisch mengenang bagaimana selo telah menyelamatkan kehidupannya. Film dokumenter ini ditulis dan disutradarai oleh Christian Berger.

Anita pun diterima di orkestra 56 bagian dari kamp perempuan. "Kami semua anak-anak dan amatir," katanya.

Rose, yang adalah keponakan komposer Yahudi Gustav Mahler, mengaransemen sendiri lagu-lagu untuk rombongan musik itu. Orkestra mereka sangat diminati; orkestra bermain untuk para pekerja di gerbang kamp perempuan setiap pagi dan sore, bahkan dalam cuaca dingin membekukan.

Baca juga: Cara Joseph Goebbels Sebarkan Propaganda Nazi

Meski sebagai pemain selo ia terhindar dari kewajiban untuk melakukan pekerjaan kasar sebagai hukuman, Anita tetap tidak merasa aman. "Mereka tidak akan mengirim kami ke kamar gas selama mereka menginginkan musik. Ini hanya penangguhan hukuman!" begitu pikirnya.

Tetapi mengapa Nazi repot-repot memutar musik untuk para tahanan yang mereka bunuh? "Mentalitas ini sangat sesat sehingga sulit untuk dipahami, tetapi ini penting: Musik dan seni digunakan sebagai bagian dari mesin pembunuh," kata jurnalis musik Norman Lebrecht kepada DW. "Dan seluruh dunia musik dan profesi musik di Jerman menutup mata atau berkolaborasi."

Jurnalis musik asal Inggris tersebut telah meneliti peran musik klasik di bawah Nazi selama bertahun-tahun. "Budaya adalah salah satu cara untuk membenarkan pemerintahan Nazi di Jerman." Itu adalah semacam kedok bagi Nazi, kata Lebrecht.

"Mereka bisa mengatakan, kami adalah bangsa berbudaya, kami adalah orang-orang berbudaya. Anda tidak mungkin curiga bahwa kami melakukan sesuatu yang tidak berbudaya."

Baca juga: Inilah Senjata Terbesar di Dunia, Andalan Nazi Saat Merebut Perancis

Musisi Yahudi bermain saat pembunuhan massal oleh SS

Konduktor Wilhelm Furtwangler membuat perjanjian dengan Nazi untuk menyelamatkan diri.DW INDONESIA Konduktor Wilhelm Furtwangler membuat perjanjian dengan Nazi untuk menyelamatkan diri.

Adolf Hitler sendiri menyadari kekuatan musik. "Sudah pasti bahwa musik akan ditujukan sebagai pembentuk perasaan dan sensasi terbesar yang menggerakkan pikiran," ujar Hitler di Kongres Partai NSDAP pada 1938.

Realitas sinisnya adalah, saat banyak komposer dan musisi Yahudi dikucilkan dan dibunuh, para dedengkot Nazi seperti dokter di kamp konsentrasi, Josef Mengele, memutarkan musik klasik yang dimainkan oleh orang Yahudi saat membunuh korbannya. Bahkan Hitler juga disebut-sebut memiliki koleksi pribadi rekaman musik yang dimainkan oleh para musisi Yahudi.

Baca juga: Konsumsi Narkoba Tentara Nazi yang Memicu Kebrutalan Invasi

Film dokumenter musik DW yang baru akan membahas kontradiksi ini dan untuk pertama kalinya, merangkum fenomena musik klasik yang terkait dengan Third Reich secara keseluruhan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com