KOMPAS.com - Perang Dunia I yang terjadi pada 1914-1918, sering disebut "teater perang parit".
Para prajurit kebanyakan bertahan di parit-parit pertahanan dan berusaha merebut parit lawannya.
Untuk merebutnya, para prajurit harus melintasi "tanah tak bertuan". Di titik itulah, teater dimulai.
Mereka bisa saja menjadi sasaran empuk senapan mesin lawan. Korban yang jatuh bisa mencapai ribuan dalam sekali gelombang serangan.
Baca juga: Kisah Perang: Luftwaffe, AU Nazi Spesialis Serangan Kilat Blitzkrieg
Tapi, seperti sempat diulas Kompas.com, pada 1 September 1939, Jerman memamerkan taktik perang yang benar-benar baru, yakni apa yang disebut blitzkrieg atau perang kilat.
Dalam blitzkrieg, tidak ada pertahanan statis berupa parit atau benteng.
Pertahanan terbaik dalam strategi ini adalah gabungan pasukan yang terus bergerak saat melakukan serangan.
Tentu saja serangan seperti ini membutuhkan mesin-mesin perang yang terus bergerak, pesawat tempur yang menguasai udara, serta pasukan infantri besar yang terus bermanuver.
Serangan semacam ini akan membuat musuh terkejut, kesulitan berkordinasi, sehingga mudah dipojokkan.
Inilah yang membuat pasukan Jerman saat itu dengan mudah menggilas Polandia.
Baca juga: Lirik dan Chord Blitzkrieg Bop, Singel Debut Band Punk Rock Ramones
Dengan taktik yang sama, Jerman menghancurkan Belgia, Belanda, dan Perancis pada 1940.
Blitzkrieg juga digunakan jenderal legendaris Erwin Rommel saat berperang di Afrika.
Jerman mulai mengembangkan taktik perang kilat ini antara 1918-1939.
Strategi blitzkrieg ini sangat tergantung keberaan unit-unit tank ringan yang didukung pesawat tempur dan infantri.
Dasar taktiknya adalah doktrin "Schlieffen Plan" yang diuraikan Panglima Militer Kekaisaran Jerman Alfred von Schliefen.