Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Terbaru: Orang yang Kekurangan Pangan Cenderung Tak Punya Akses ke Layanan Kesehatan Mental

Kompas.com - 20/07/2021, 10:05 WIB
Tito Hilmawan Reditya

Penulis

Sumber The Hill

SAN FRANCISCO, KOMPAS.com - Kerawanan dan kekurangan pangan, menurut beberapa studi, meningkat selama pandemi.

Sebuah survei nasional baru-baru ini menunjukkan bahwa orang yang mengalami kekurangan makanan cenderung tidak bisa memenuhi kebutuhan konseling dan layanan kesehatan mental.

Dilansir The Hill, para ahli pun berharap agar penyedia layanan kesehatan dan pembuat kebijakan menjadikan hal ini sebagai prioritas.

Baca juga: Kerusuhan di Afrika Selatan Picu Darurat Pangan dan Bahan Bakar

Selama pandemi, banyak rumah tangga mengalami kerawanan pangan akibat penutupan dan kehilangan pekerjaan.

Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan gejala depresi.

Namun, analisis baru dari data survei menunjukkan bahwa orang yang rawan pangan mungkin tidak bisa mendapatkan akses layanan yang mereka butuhkan.

Ketidakcukupan pangan adalah versi kerawanan pangan yang dianggap parah, di mana tidak ada cukup pangan.

Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa kerawanan atau ketidakcukupan makanan ternyata berkaitan dengan hasil kesehatan mental yang lebih buruk.

Jason Nagata, asisten profesor pediatri di University of California, San Francisco, menyatakan, semua ini menjadi masuk akal karena lapar atau khawatir tidak mendapatkan cukup makanan dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan stres.

Baca juga: 6 Tips Atasi Depresi akibat Putus Cinta

Untuk melihat masalah ini, Nagata dan kolaboratornya menganalisis data dari Survei Denyut Rumah Tangga Sensus AS yang dikumpulkan pada Oktober 2020.

Dalam makalah yang diterbitkan, mereka melaporkan bahwa kekurangan makanan mungkin terkait dengan kebutuhan kesehatan mental.

"Ini sudah terjadi sebelum vaksin tersedia," kata Nagata.

"Selain pandemi Covid-19, situasi saat itu ada di masa pemilu AS dan tidak bisa berlibur, jadi saya pikir itu adalah periode stres tinggi bagi banyak orang," tambahnya.

Dalam survei itu, pertanyaan spesifik yang ditanyakan termasuk apakah mereka minum obat resep untuk membantu emosi atau konsentrasi, perilaku kesehatan mental, menerima konseling, atau terapi dari profesional.

Selain itu, mereka tidak dapat mengakses konseling atau terapi karena alasan apa pun.

Halaman:
Sumber The Hill
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com