Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lengserkan Rezim 12 Tahun, Ini Janji dan Tantangan PM Baru Israel Naftali Bennett

Kompas.com - 14/06/2021, 22:26 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

YERUSALEM, KOMPAS.com - Perdana Menteri (PM) Israel yang baru, Naftali Bennett telah berjanji untuk menyatukan bangsa, yang dilanda empat pemilihan dalam dua tahun kebuntuan politik.

PM baru Israel itu mengatakan pemerintahnya "akan bekerja demi semua orang." Prioritasnya adalah reformasi di bidang pendidikan, kesehatan dan pemotongan birokrasi.

Baca juga: Pemerintahan Baru Israel Dikhawatirkan Bisa Lebih Keras ke Palestina

Nasionalis sayap kanan ini akan memimpin koalisi partai yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan dukungan tipis anggota parlemen dalam pemungutan suara 60-59 pada Minggu (13/6/2021).

Dia menggantikan Benjamin Netanyahu yang dipaksa keluar dari jabatannya setelah 12 tahun.

Setelah anggota parlemen memberikan suara dalam pemerintahan koalisi baru, Netanyahu berjalan ke arah Bennett dan menjabat tangannya.

Dalam pidatonya, Bennett (49 tahun) mengatakan: "Ini bukan hari berkabung. Ada perubahan pemerintahan dalam demokrasi. Itu saja.”

"Kami akan melakukan semua yang kami bisa sehingga tidak ada yang harus merasa takut ... Dan saya katakan kepada mereka yang berniat merayakan malam ini, jangan menari di atas penderitaan orang lain.”

“Kami bukan musuh, kami adalah satu orang," ujar Bennett melansir BBC pada Senin (14/6/2021).

Bennett, pemimpin partai Yamina, akan menjadi perdana menteri hingga September 2023, sebagai bagian dari kesepakatan pembagian kekuasaan dalam koalisinya.

Dia kemudian akan menyerahkan kekuasaan kepada Yair Lapid, kepala sentris Yesh Atid, untuk menyelesaikan dua tahun sisa pemerintahan.

Baca juga: PM Israel Naftali Bennett Ahli Berbisnis, Pernah Tarik Investor Jutaan Dolar AS

Tekad Netanyahu

Netanyahu, perdana menteri terlama Israel, akan tetap menjadi kepala partai sayap kanan Likud dan menjadi pemimpin oposisi.

Selama debat Knesset (parlemen Israel) di Yerusalem pada Minggu (13/6/2021), Netanyahu berjanji: "Kami akan kembali (ke pemerintahan)."

Setelah mosi tidak percaya diumumkan, Benjamin Netanyahu pergi dan duduk kembali di kursi perdana menteri di ruang Knesset.

Dia harus diantar ke bangku oposisi sebagai gantinya.

Itu adalah momen sejarah politik dimana Netanyahu benar-benar dilengserkan sebagai pemimpin terlama Israel.

Politisi 71 tahun itu tidak akan kemana-mana, setidaknya untuk saat ini.

Dia akan tetap di kursi oposisi dan mencoba untuk membongkar, memisahkan dan mungkin "menggulingkan" koalisi Perdana Menteri baru pertama Israel dalam 12 tahun. Itu seperti yang dia katakan dalam pidatonya.

Baca juga: Koalisi Berujung Suksesi yang Menangkan PM Baru Israel Naftali Bennett

Instabilitas politik

Secara tampilan, pemerintahan Bennett akan berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.

Pemerintahan baru Israel saat ini adalah yang terluas (secara ideologis) dalam 73 tahun sejarah “Negeri Zionis.”

Tetapi kondisi itu justru bisa membuatnya menjadi yang paling tidak stabil.

Naftali Bennett diyakini baru akan bisa menyelesaikan pekerjaannya, jika dia dapat benar-benar menyatukan partai.

Aliansi tersebut berisi partai-partai yang memiliki perbedaan ideologis yang luas.

Pemerintahan baru ini juga diharapkan memiliki rekor jumlah sembilan menteri perempuan.

Beberapa pihak diyakini ingin melonggarkan pembatasan agama lebih luas daripada yang mungkin diizinkan Yamina, sebagai partai religius nasional.

Selain itu tantangan juga bisa muncul dalam pembentukan kebijakan sosial.

Jika beberapa pihak ingin memajukan hak-hak gay, seperti mengakui pernikahan sesama jenis, Raam (sebuah partai Islam) menentangnya.

Baca juga: Partai Islam Israel yang Menangkan Naftali Bennett Bersumpah Rebut Kembali Tanahnya

Konflik perbatasan

Raam sebagai Partai Arab independen pertama, yang menjadi bagian dari koalisi penguasa, disebut mungkin akan berpotensi punya dampak paling signifikan.

Dimasukkannya Raam dan partai sayap kiri Israel non-Arab berarti mungkin ada gesekan pada isu-isu seperti kebijakan Israel terhadap Palestina.

Yamina dan partai sayap kanan lainnya, New Hope, adalah pendukung setia pemukiman Yahudi di wilayah Barat yang diduduki Israel. Tepi Barat, misalnya.

Sementara itu, pemimpin partai Islam konservatif Ra’am, Mansour Abbas menyatakan: "Kami akan merebut kembali tanah yang diambil alih dari orang-orang kami," kata Abbas dalam pidatonya di depan sidang pleno Knesset, 13 Juni kemarin.

Abbas menolak klaim yang menyebut bahwa pemerintah yang akan datang akan “menjual bagian selatan Israel” pada partainya.

Perwakilan dari Palestina telah bereaksi meremehkan pemerintah baru Israel.

"Ini urusan internal Israel. Posisi kami selalu jelas, yang kami inginkan adalah negara Palestina dengan perbatasan 1967 dan Yerusalem sebagai ibu kotanya," kata juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas melansir BBC.

"Ini adalah pendudukan dan entitas kolonial, yang harus kami lawan dengan paksa untuk mendapatkan kembali hak kami," kata juru bicara Hamas, kelompok Islam yang menguasai Jalur Gaza.

Baca juga: Israel Punya Perdana Menteri Baru, Hamas Tegaskan Terus Melawan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber BBC
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com