Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Berharap Bebas Emisi Karbon pada 2060, tapi Ini Tantangan

Kompas.com - 09/06/2021, 09:00 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia berkomitmen mencapai target Perjanjian Paris untuk karbon netral atau net zero emission (bebas emisi karbon) pada 2060 atau lebih cepat dengan bantuan internasional.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan untuk mencapai target ideal dalam keamanan energi nasional, bauran energi, dan penurunan emisi sejumlah strategi sudah disiapkan dalam Grand Strategi Energi Indonesia.

Perencanaan itu mempertimbangkan kebutuhan energi Indonesia, peningkatan neraca dagang, hingga mengembangkan infrastruktur energi nasional.

Untuk mendukung komitmen karbon netral 2060, sektor energi secara khusus menargetkan pengembangan proyek pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) hingga 38 MW pada 2035.

Pengembangan potensi energi matahari akan menjadi prioritas dalam strategi tersebut. Itu mengingat biaya pengembangan yang relatif murah, dan proses instalasi yang lebih cepat.

Baca juga: Arab Saudi Berambisi Menanam Pohon Sebanyak 10 Miliar untuk Kurangi Emisi Karbon

Tantangan menuju karbon netral

 

Namun, pengembangan program EBT Indonesia memiliki sejumlah tantangan.

“Pendanaan yang besar untuk transformasi energi, insentif, perbaikan infrastruktur pendukung, dan sumber daya manusia yang berketerampilan tinggi,” ujar Arifin dalam webinar bertajuk "Indonesia-Norway Investment Opportunities in Hydro and Solar Energy in Indonesia" yang diselenggarakan oleh KBRI Oslo, Senin (7/8/2021).

Selain itu, dana tambahan masih diperlukan agar EBT dapat beroperasi dengan masksimum. Diantaranya untuk kebutuhan penyimpan daya yang andal (off-grid), dan generator cadangan (on-grid).

Tantangan ketiga yaitu terkait masih terbatasnya kemampuan sistem jaringan, untuk menyerap listrik dari pembangkit EBT. Maka investasi lainnya diperlukan untuk meningkatkan keandalan dan fleksibilitas sistem tenaga.

Masalahnya, “bisnis energi terbarukan dinilai kurang menarik dan risiko tinggi, akibatnya bank/lembaga keuangan kurang berminat memberikan pendanaan dengan tenor panjang dan bunga rendah,” ujar Menteri ESDM.

Sementara itu, ada juga masalah kurangnya ketersediaan teknologi murah yang sesuai dengan kondisi lokal. Alhasil Indonesia masih bergantung pada teknologi impor.

“Perlu dukungan kebijakan di tingkat nasional, sub-nasional, dan internasional, termasuk partisipasi publik.”

Baca juga: Efek Pembatasan Covid-19 Emisi Gas Rumah Kaca Australia Turun ke Level Terendah

Strategi Pengembangan EBT

Adapun melihat tantangan itu, menurut Arifin strategi jangka panjang pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang masif telah disusun Indonesia.

Tidak hanya solar panel, sumber energi terbarukan lainnya juga siap digarap, meliputi tenaga angin, biomassa, panas bumi, tenaga air, laut, hidrogen, juga Battery Energy Storage System (BESS).

Indonesia juga akan mengurangi utilisasi sumber energi fosil dengan "co-firing" biomassa, serta memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU).

Halaman:
Sumber Kompas.com
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com