NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Lebih dari 700 orang dibunuh oleh pasukan keamanan sejak militer Myanmar melancarkan kudeta pada 1 Februari, menurut Asosiasi Pendampingan untuk Tahanan Politik (Burma). BBC berbicara dengan keluarga dari tiga orang yang tewas.
Jumlah korban jiwa bertambah seiring kekerasan yang meningkat terhadap para pengunjuk rasa.
Beberapa dari mereka yang tewas mengambil bagian dalam protes anti-kudeta, sementara yang lain - termasuk anak-anak - hanya duduk di rumah mereka ketika dibunuh.
Baca juga: Membedah Gurita Bisnis Anak Istri Petinggi Militer di Myanmar yang Menggiurkan
Di sini, tiga keluarga berbagi cerita mereka.
Pan Ei Phyu yang berusia 14 tahun adalah pendukung setia gerakan pro-demokrasi dan telah membuat beberapa video TikTok yang menunjukkan ia menyanyikan lagu-lagu pro-demokrasi.
Khawatir akan keselamatannya, ibunya Thida San tidak mengizinkannya bergabung dengan protes jalanan.
Tapi itu tidak cukup untuk menyelamatkannya.
Pan Ei Phyu ditembak di dalam rumahnya saat dia ingin membuka pintu bagi pengunjuk rasa yang melarikan diri dari tindakan keras militer pada 27 Maret.
Baca juga: Rilis Deklarasi Bersama soal Myanmar, FPCI Desak ASEAN dan DK PBB Bertindak
Itu adalah hari paling mematikan sejak kudeta dimulai - sedikitnya 114 orang, termasuk 11 anak, tewas.
"Dia tiba-tiba jatuh dan saya pikir dia terpeleset. Tapi kemudian saya melihat darah di punggungnya dan menyadari dia telah ditembak," kata Thida San kepada BBC, sambil menangis.
Dalam bahasa Burma, "pan" artinya bunga, "ei" artinya lembut, dan "phyu" artinya putih.
"Anak perempuan saya adalah seorang gadis yang cantik ketika dia lahir, seperti bunga kecil yang lembut karena itulah saya memberinya nama itu."
Dia menceritakan bahwa putrinya sering membantunya di rumah dan bagaimana dia bermimpi untuk membuka panti asuhan ketika dia dewasa.
"Saya merasa saya tidak layak hidup tanpa anak saya. Lebih baik saya yang mati daripada dia."
Baca juga: Militer Myanmar Minta Keluarga Bayar Rp 1,2 Juta jika Ingin Ambil Jenazah Kerabat yang Tewas
Kematian Pan Ei Phyu juga sangat berdampak pada adik laki-lakinya, Mg Sai Sai yang berusia 10 tahun.
Dia tidak tidur sama sekali pada malam saudara perempuannya meninggal dan terus menonton video TikToknya, kata Thida San.
Keluarga tersebut telah pindah rumah karena Thida San khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka lagi.
"Hidup kami tidak aman lagi."