Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Anak Junta" Diburu Massa Anti-kudeta Militer Myanmar untuk Beri Hukuman Sosial

Kompas.com - 19/03/2021, 14:41 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber REUTERS

SYDNEY, KOMPAS.com - "Anak junta" yang berada di luar negeri kini diburu oleh diaspora pendukung demokrasi Myanmar, saat kekerasan meningkat terhadap massa yang menuntut dikhirinya kudeta militer dan pembebasan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi.

Susu San, seorang diaspora wanita yang bekerja sebagai insinyur listrik di Australia berdiri di salah satu rumah sakit yang diyakini sebagai tempat kerja putra jaksa agung Myanmar yang berprofesi sebagai dokter.

Melansir Reuters pada Jumat (19/3/2021), Susu San memutuskan untuk menunjukkan kepada junta bahwa anak-anak mereka akan diburu ke mana pun mereka berada.

Baca juga: Militer Myanmar Tambah Dakwaan Suap Kepada Aung San Suu Kyi, Terancam Hukuman 15 Tahun Penjara

Susu San berdiri di area parkir rumah sakit Australia dengan menggunakan masker ia melakukan hormat tiga jari sambil membawa papan protes yang bertuliskan "Bebaskan Aung San Suu Kyi".

"Mereka pikir mereka tidak tersentuh," ujar wanita berusia 33 tahun itu.

Susu San mengatakan targetnya di Rumah Sakit Mackay adalah dokter berusia 28 tahun, Min Ye Myat Phone Khine.

Ibu dari Phone Khine adalah jaksa agung junta, Thida Oo, yang kantornya sekarang menangani kasus hukum terhadap Suu Kyi.

Baca juga: Demonstran Myanmar Lawan Balik Junta Militer, Gunakan Bom Molotov dan Ketapel

Dia pernah menjabat sebagai sekretaris tetap di kantor jaksa agung selama pemerintahan sipil, dan penerimaannya atas peran junta dipandang sebagai pengkhianatan yang mendalam oleh para pendukung Suu Kyi.

Ia melakukan perjalanan 1.500 kilometer dari utara Queensland untuk menuju tempat kerja satu "anak junta" di rumah sakit di kota kecil Mackay.

"Ini adalah cara untuk memberdayakan rakyat kami dengan mengatakan bahwa tidak ada yang bisa melarikan diri dari pelanggaran hukum dan kebrutalan," ujarnya.

Sejak kudeta, beberapa demonstran meluncurkan kampanye online untuk mengutuk anggota keluarga dan orang-orang terkait dengan junta di Myanmar dan sekitarnya, serta mereka yang berada di luar negeri dengan nyaman, bebas dari kerusuhan berdarah di tanah air.

Baca juga: [POPULER GLOBAL] Pengakuan Militer Myanmar yang Membelot | 8 Tewas dalam Penembakan di Panti Pijat

Pemrakarsa kampanye tersebut mengatakan itu adlaah cara tanpa kekerasan untuk menekan junta agar mengakhiri kudeta dan mengembalikan demokrasi Myanmar.

"Militer paham satu bahasa. Itu adalah tekanan," kata Tun Aung Shwe, anggota komunitas Burma di Australia, yang pergi ke Canberra untuk mendesak pemerintah agar memberikan sanksi kepada orang-orang yang berafiliasi dengan junta.

"Hukuman sosial efektif mengguncang junta, membuat mereka untuk berpikir lagi apa yang mereka lakukan," terang Aung Shwe.

Sementara ini, panggilan berulang kali ke militer dan pemerintah untuk meminta tanggapan tidak dijawab.

Baca juga: Demi Myanmar Damai, Paus Fransiskus Siap Berlutut di Jalan

Selain mempermalukan teman, rekan, dan kerabat junta di media sosial, para aktivis juga membuat situs web bernama socialpunishment.com yang informasinya telah banyak dibagikan di Facebook.

Situs web tersebut menampilkan lebih dari 120 profil orang yang dituduh menjadi bagian dari kudeta yang telah menghentikan 10 tahun reformasi demokrasi dan melakukan penindasan berdarah.

Ini memberi peringkat pada skala "pengkhianat" dari elit ke rendah, dan ada foto orang yang diprofilkan, detail asosiasi mereka, dan keberadaan mereka di dunia, sehingga memudahkan orang Burma di negara-negara tersebut untuk melacak mereka.

Pada 2016, ada hampir 33.000 orang dari Myanmar yang tinggal di Australia saja.

Baca juga: Sinyal Keretakan Hubungan, Biksu Myanmar Tuding Junta Militer Bunuh Warga Sipil

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber REUTERS
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com