Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pebisnis Indonesia di Myanmar, Berbagi Kisah Kunci Bertahan di Tengah Gejolak untuk Para Entrepreneur

Kompas.com - 28/02/2021, 07:06 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Dunia usaha kecil hingga besar mendapat pukulan berat selama satu tahun pandemi. Tapi kesulitannya semakin berlipat bagi mereka yang membuka usaha di wilayah konflik.

Seperti yang dirasakan diaspora Indonesia, Kiwi Aliwarga, yang sejak akhir 90-an sudah merintis bisnis di Myanmar. Eskalasi konflik politik di Myanmar setelah kudeta militer sejak awal Februari menurutnya mengkhawatirkan terlebih jika berlarut-larut.

“Saat ini chaos ya. Pegawai pemerintah ditekan tidak masuk kerja meski ada yang tetap mau bekerja. Tapi dia di-bully oleh tetangganya sehingga takut bekerja,” kata Kiwi dalam zoom meeting Diaspora MasterClass bertajuk “Entrepreneurship Essentials” yang diselenggarakan Indonesia Diaspora Network (IDN) Global pada Sabtu (27/2/2021).

CEO dari UMG Group itu menilai jika situasi tidak berubah dalam dua sampai tiga minggu kedepan ekonomi Myanmar bisa jatuh. Impor ekspor sudah tidak berjalan sejak awal februari. Sementara saat ini pasokan utama industri seperti bahan bakar sudah langka.

UMG Group Myanmar sendiri menggeluti berbagai bidang usaha dan kini sudah menjangkau negara-negara kawasan ASEAN dan China.

Bidang usaha yang digeluti juga beragam mulai dari sektor Distribusi, Pendidikan, Media & Hiburan, Layanan Keuangan, Makanan & Minuman, Pengembangan Properti & Infrastruktur, Pertambangan Sumber Daya, Perawatan Kesehatan dan Komunikasi hingga Teknologi Informasi.

Memburuknya kondisi di Myanmar mau tak mau berdampak pada bisnisnya. Padalah akibat pandemi saja, 30 persen dari lini usahanya masih berjuang untuk sekedar bisa bertahan sampai saat ini.

Baca juga: Pemilu Amerika Serikat dalam Pandangan Para Diaspora Indonesia

Berani memanfaatkan peluang

Keputusan Kiwi mencemplungkan diri ke dunia entrepreneurship di Myanmar menurutnya diluar rencana. Awalnya dia menerima tantangan dari perusahaan otomotif tempatnya bernaung untuk membantu mengembangkan bisnis di Burma, yang saat itu masih di bawah pemerintahan militer.

Sedang asik belajar mendalami industri di Myanmar, tiba-tiba “bencana” di dalam negeri terjadi. Saat itu, pecahnya krisis 1998 membuat perusahaannya terpaksa menariknya pulang ke dalam negeri.

Tapi dia menolak berhenti belajar dan memilih menekuni bidang yang sedang dipelajarinya dan bertahan di Myanmar.

. Jadi harus bersyukur kalau dikasih masalah berarti kita sedang diberi banyak kesempatan,” ungkapnya.

Entrepreneur menurutnya harus punya endurance (daya tahan), yang bisa didapat dengan mengenal passion. Kemampuan itu memungkinkan orang bekerja dengan tulus dan senang hati, bahkan tanpa dibayar sepeserpun.

Sebaliknya, tanpa kecintaan mendalam atas apa yang dikerjakan seseorang sering kali sulit bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan. Maka penting bagi seorang entrepreneur untuk mengenal baik dirinya sendiri, juga memiliki visi dan misi dalam membangun usaha.

Dalam kondisi yang penuh gejolak terutama dari eksternal seperti saat pandemi ini sebuah bisnis harus bisa beradaptasi dengan cepat. Proses itu bisa dilakukan jika management memiliki sumber daya manusia dan kapital yang “agile.”

Masalahnya kebanyakan pebisnis di Indonesia banyak menerapkan prinsip ekonomi barat. Di mana sebuah usaha bergantung pada hutang untuk bisa berjalan sehingga memberi ruang terbatas dalam berinovasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com