Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengungsi Rohingya Semakin Takut Kembali ke Myanmar Setelah Kudeta

Kompas.com - 03/02/2021, 21:53 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Pengungsi Rohingya asal Myanmar yang tinggal di kamp-kamp di Bangladesh mengutuk kudeta militer yang terjadi di tanah air mereka dan mengatakan peristiwa itu membuat mereka lebih takut untuk kembali.

Operasi kontra pemberontakan oleh militer Myanmar pada 2017 yang mengakibatkan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran desa mendorong lebih dari 700.000 etnik Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Bangladesh telah menampung mereka di kamp-kamp pengungsi yang padat dan sangat ingin mengirim mereka kembali ke Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.

Beberapa upaya repatriasi di bawah kesepakatan bersama gagal karena Rohingya menolak untuk pergi, takut akan lebih banyak kekerasan di negara yang menyangkal hak-hak dasar mereka termasuk kewarganegaraan.

Baca juga: Kudeta Myanmar, Aung San Suu Kyi Dituduh Punya Alat Komunikasi Terlarang

Para pengungsi pada Selasa (2/2/2021) mengatakan bahwa mereka lebih takut dengan keadaan sekarang ini karena militer memegang kendali penuh.

"Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kami tetap aman di bawah kendali mereka?" kata Khin Maung, kepala Asosiasi Pemuda Rohingya di kamp-kamp di distrik Cox's Bazar.

"Setiap repatriasi damai akan sangat berdampak. Ini akan memakan waktu lama karena situasi politik di Myanmar sekarang lebih buruk," katanya kepada kantor berita Associated Press.

Para pejabat dari Myanmar dan Bangladesh bertemu bulan lalu untuk membahas cara-cara memulai repatriasi.

Baca juga: Para Petugas Medis Myanmar Mogok Kerja sebagai Protes Kudeta Militer

Kementerian Luar Negeri Bangladesh tampaknya sangat mengharapkan upaya repatriasi ini bisa sukses dan mengatakan berharap untuk memulainya sekitar bulan Juni.

Tetapi para pengungsi mengatakan mereka sangat menentang pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

“Kami mengutuk keras kudeta itu. Kami mencintai demokrasi dan hak asasi manusia, jadi kami khawatir kehilangan keduanya di negara kami,” kata Maung.

“Kami adalah bagian dari Myanmar, jadi kami merasakan hal yang sama seperti rakyat Myanmar pada umumnya. Kami mendesak masyarakat internasional untuk bersuara menentang kudeta, ” tambahnya.

Baca juga: Myanmar atau Burma? Mengapa Perbedaan Nama Negara Itu Penting?

'Akan lebih menyiksa kami'

Salah seorang pengungsi Rohingya, Mohammad Jaffar yang berusia 70 tahun, mengatakan mereka telah menunggu untuk kembali.

“Harapan bahwa kami harus kembali sekarang telah terputus oleh perubahan rezim di Myanmar ini,” kata Jaffar.

“Repatriasi tidak akan aman sama sekali di bawah rezim ini. Sekarang jika kami kembali ke tangan orang-orang yang bertanggung jawab atas penyiksaan terhadap kami, kami mungkin harus menanggung rasa sakit dua kali lebih banyak dari sebelumnya,” sambung Jaffar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com