DUBLIN, KOMPAS.com - Pembelaan Presiden Perancis, Emmanuel Macron, terhadap publikasi satir Charlie Hebdo memicu berbagai pihak serukan untuk memboikot produk-produk negara itu.
Di Indonesia, pada akhir Oktober Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan imbauan serupa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, boikot artinya “bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya).”
Boikot pada umumnya memiliki tujuan yang jelas, dan dapat berlangsung hingga bertahun-tahun.
Baca juga: Cek Fakta Sepekan: Dirjen WHO Disebut Positif Covid-19 hingga soal Boikot Produk Perancis
Sebagai contoh, tahun 1791 aktivis antiperbudakan berusaha meyakinkan Parlemen Inggris untuk mengesahkan RUU diakhirinya perbudakan. Aktivis menyerukan boikot gula Karibia yang produksinya sangat memerah tenaga budak.
Pada puncak boikot, sekitar 400.000 rumah tangga diperkirakan telah berhenti menggunakan gula Karibia atau beralih ke gula dari daerah lain.
Setelah perjuangan panjang, pada 1833 Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan. Namun menurut theconversation.com, kebebasan penuh tidak tercapai hingga tahun 1838.
Boikot memang punya kekuatan dan bisa berdampak terhadap bisnis dan perdagangan, bahkan bisa meruntuhkan sebuah rezim, seperti yang terjadi pada rezim apartheid di Afrika Selatan. Seperti apa awal mula kata boikot?
Baca juga: Ramai Seruan Boikot Produk Perancis, Polisi Lakukan Pengamanan di Mal
Sebagian besar tanah pertanian di Irlandia pada abad ke-19 dimiliki oleh tuan tanah yang berkebangsaan Inggris.
Ironisnya, kebanyakan para tuan tanah ini tidak tinggal di Irlandia, jadi untuk mengelola tanah pertaniannya, mereka menyewa manajer lahan yang juga bertugas mengumpulkan uang sewa dari para petani.
Nah, salah satu manajer lahan ini bernama Charles Boycott, mengelola tanah pertanian di County Mayo, Irlandia, untuk Earl of Erne seorang aristokrat Inggris.
Baca juga: Ada Seruan Boikot Produk Perancis, Danone: Aqua dan SGM Dikembangkan dan Diproduksi di Indonesia
Pada abad ke-19 agrikultur memang sektor andalan ekonomi Irlandia, tapi pada 1880 terjadi gagal panen yang parah.
Dikutip dari laman workandmoney.com, para petani yang menyewa tanah kepada Earl of Erne meminta harga sewa diturunkan sebesar 25 persen untuk meringankan beban.
Namun Earl of Erne hanya mengurangi sebesar 10 persen dan memerintahkan Boycott untuk mengusir setiap petani yang tidak membayar sewa.
Para penduduk lokal tidak terima atas perlakuan ini, mereka memutuskan untuk tidak lagi mau berurusan dengan Charles Boycott.