OTTAWA, KOMPAS.com - Persidangan atas gugatan terhadap UU yang melarang beberapa pegawai publik memakai pakaian keagamaan akan berlangsung pada awal November ini di provinsi Quebec, Kanada.
Kelompok hak asasi sipil sebelumnya telah menyerukan aturan itu melanggar konstitusi negara.
Gugatan terhadap RUU 21 diajukan oleh Dewan Nasional Muslim Kanada (NCCM), Canadian Civil Liberties Association (CCLA) dan Ichrak Nourel Hak, seorang wanita Muslim, dan akan disidangkan di Pengadilan Tinggi Quebec pada 2 November.
UU yang disahkan pada Juni 2019, melarang beberapa guru, pengacara, petugas polisi, dan lainnya di ruang publik untuk mengenakan simbol agama saat bekerja.
Simbol agama itu, termasuk jilbab yang dikenakan oleh wanita Muslim, kippah yang dikenakan oleh pria Yahudi, dan turban yang dikenakan oleh Sikh.
Baca juga: Twitnya soal Islam dan Perancis Dihapus Twitter, Mahathir: Tidak Adil
Pemohon mengatakan UU tersebut diskriminatif dan menciptakan "kewarganegaraan kelas dua" di Kanada, sebagaimana yang dilansir dari Al Jazeera pada Minggu (1/11/2020).
Mustafa Farooq, CEO NCCM, mengatakan kepada Al Jazeera dalam sebuah wawancara telepon bahwa orang-orang "kehilangan pekerjaan hanya karena apa yang mereka kenakan dan apa yang mereka yakini".
“Masyarakat harus meninggalkan provinsi dan mengubah siapa mereka. Itu tidak bisa diterima. Itulah mengapa kami tidak akan pernah berhenti melawan RUU 21," kata Farooq.
Baca juga: Pemimpin Muslim di Perancis Minta Umat Islam Abaikan Kartun Nabi Muhammad
Nour Farhat, seorang pengacara Muslim dari Montreal yang mengenakan jilbab yang dikenakan oleh banyak wanita Muslim yang merasa itu adalah bagian dari agama mereka.
Farhat sedang mengejar gelar Master di bidang hukum dengan harapan dapat memenuhi mimpinya menjadi jaksa penuntut negara ketika RUU 21 disahkan tahun lalu.
Hukum telah memaksanya untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta karena dia tidak bisa bekerja sebagai pegawai negara dengan mengenakan jilbab.
"(RUU 21) melarang saya mengambil jalan yang selalu ingin saya ambil," kata Farhat kepada Al Jazeera.
Kasus pengadilan, tambahnya, akan menjadi salah satu "pengadilan terbesar" dalam hidupnya.
Baca juga: Dianggap Menghina Islam, Presiden Perancis Dikecam Umat Kristen di Arab
Meskipun mendapat tentangan keras, Perdana Menteri Quebec, Francois Legault, telah membela UU tersebut, dengan mengatakan bahwa itu adalah tindakan moderat yang tidak melanggar kebebasan beragama dan didukung oleh "sebagian besar penduduk Quebec".
Survei terhadap lebih dari 1.200 Quebec yang dilakukan oleh Leger Marketing pada Mei 2019 menunjukkan 63 persen orang di provinsi tersebut mendukung RUU 21.