Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar: Perjanjian Damai Israel dengan UEA dan Bahrain Mengarah pada Perubahan Status Quo Al-Aqsa

Kompas.com - 15/09/2020, 14:39 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber Aljazeera

YERUSALEM, KOMPAS.com - Pernyataan yang terkandung dalam perjanjian normalisasi Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel, yang ditengahi oleh Amerika Serikat (AS), dapat mengarah pada pembagian kompleks Al-Aqsa, kata para analis.

Menurut sebuah laporan oleh LSM Terrestrial Jerusalem (TJ), pernyataan tersebut menandai "perubahan radikal dalam status quo" dan memiliki "konsekuensi yang luas dan berpotensi meledak", seperti yang dilansir dari Al Jazeera pada Senin (14/9/2020).

Di bawah status quo yang ditegaskan pada 1967, bahwa hanya Muslim yang dapat beribadah di dalam al-Haram al-Sharif, yang juga dikenal sebagai kompleks Masjid Al-Aqsa, yang memiliki luas 14 hektar.

Non-Muslim bisa berkunjung, tapi tidak bisa shalat di dalamnya.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan status quo ini dalam deklarasi resmi pada 2015.

Namun, klausul yang termasuk dalam kesepakatan normaliasasi antara Israel dan negara-negara Teluk Arab baru-baru ini menunjukkan bahwa status quo mungkin tidak lagi menjadi masalah.

Menurut pernyataan bersama antara AS, Israel, dan UEA yang dirilis pada 13 Agustus oleh Presiden AS Donald Trump menyebutkan, "Seperti yang tertuang dalam Visi Perdamaian, semua Muslim yang datang dengan damai dapat mengunjungi dan berdoa di Masjid Al-Aqsa dan situs suci Yerusalem lainnya harus tetap terbuka untuk pemuja damai dari semua agama."

Namun, Israel mendefinisikan Al-Aqsa sebagai struktur satu masjid, seperti pernyataannya dalam perjanjian normalisasi UE-Israel, menurut laporan TJ.

Baca juga: Presiden Palestina Inisiasi Front Persatuan Palestina untuk Sikapi Perjanjian Damai Israel-UEA

"Menurut Israel (dan tampaknya Amerika Serikat), apa pun di (Temple) Mount (Al-Aqsa) yang bukan struktur masjid didefinisikan sebagai 'salah satu situs suci Yerusalem lainnya' dan terbuka untuk sembahyang oleh semua orang termasuk Yahudi," kata laporan itu.

Langkah tersebut dilihat para analis sebagai tindakan yang disengaja, tapi diam-diam untuk membiarkan pintu situs itu terbuka lebar bagi doa Yahudi, yang "dengan demikian secara radikal mengubah status quo."

Pernyataan yang sama diulangi dalam kesepakatan dengan Bahrain, yang diumumkan pada Jumat (12/9/2020).

Khaled Zabarqa, seorang pengacara Palestina yang berspesialisasi dalam urusan Al-Aqsa dan Yerusalem, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perjanjian itu "dengan sangat jelas mengatakan bahwa masjid (Al-Aqsa) tidak berada di bawah kedaulatan Muslim".

"Ketika UEA menerima klausul seperti itu, ia setuju dan memberi lampu hijau bagi kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aqsa," kata Zabarqa.

"Ini pelanggaran yang jelas dan besar-besaran untuk status quo internasional dan hukum Masjid Al-Aqsa (dikandung) setelah pendudukan Yerusalem pada 1967, yang mengatakan segala sesuatu di dalam tembok berada di bawah pengawasan Yordania."

Tidak bersalah

Warga Palestina telah lama prihatin atas kemungkinan upaya untuk membagi masjid suci Al-Aqsa, seperti halnya dengan Masjid Ibrahimi di Hebron.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com