WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Presiden AS Donald Trump tidak tahu jika Inggris adalah negara nuklir, dan mengira Finlandia bagian dari Rusia.
Klaim itu tertuang dalam buku yang ditulis oleh mantan penasihat keamanan nasionalnya, John Bolton, berisi pengalamannya selama di Gedung Putih.
Pemerintahan Trump disebut berusaha berusha menggagalkan publikasi buku Bolton. Namun, salinannya dilaporkan sudah diterima media AS.
Baca juga: Trump Dikabarkan Minta Bantuan Xi Jinping agar Menang Pilpres
Buku dari John Bolton itu memaparkan serangkaian tudingan. Termasuk klaim sang presiden berusaha mengintervensi kasus kriminal.
Dilansir Daily Mirror Rabu (17/6/2020), upaya intervensi tersebut supaya dia mendapatkan "kekuasaan layaknya diktator yang disukainya".
Pada Januari, Trump menjalani sidang pemakzulan atas tuduhan dia membekukan bantuan militer ke Ukraina, agar calon rivalnya, Joe Biden diinvestigasi.
Kutipan dari buku berjudul The Room Where It Happened: A White House Memoir dipublikasikan media ternama AS seperti The Washington Post, New York Times, dan Wall Street Journal.
Buku tersebut mengungkapkan berbagai fakta pengabaian presiden 74 tahun itu. Seperti kenyataan bahwa Inggris merupakan senjata nuklir.
Dalam bukunya, Bolton menuliskan bagaimana Trump bertemu dengan Perdana Menteri Inggris saat itu, Theresa May, pada 2018.
Saat itu, May menyebut kepemilikan senjata pemusnah massal mereka. "Oh, jadi kalian punya senjata nuklir?" tanya Trump.
Baca juga: Donald Trump, Membuat Amerika Berjaya Kembali
Saat itu, pertanyaan sang presiden "jelas bukan lelucon". Bahkan, stafnya sempat mengolok-olok ketika tidak ada bosnya.
Kemudian satu momen lain adalah ketika Menteri Luar Negeri Mike Pompeo memberikan catatan kepada mantan Duta Besar AS untuk PBB itu.
"Dia (Trump) penuh dengan omong kosong," ujar Pompeo ketika presiden dari Partai Republik itu bertemu Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Bolton menulis, Pompeo kemudian mengatakan kepadanya bahwa gaya diplomasi presiden ke-45 AS tersebut "jauh dari kesuksesan".
Sang mantan penasihat juga mencatat, dalam potret layu lainnya, kalangan intelijen menyebut rapat dengan presiden adalah hal paling membuang waktu.