KOMPAS.com - Kurangnya tes yang tersedia untuk virus corona mengindikasikan dunia telah memerangi pandemi secara buta dan tidak mengetahui sejauh mana infeksi terjadi selama berbulan-bulan. Bahkan menurut pakar, bisa bertahun-tahun.
Virus corona ini sangat menular, kira-kira 2,5 kali dari flu biasa, dan disertai dengan tidak menunjukkan gejala dari pengidapnya.
Kondisi ini semestinya membuat setiap negara wajib melakukan tes virus sebanyak dan sesering mungkin.
Pada Selasa (17/03/2020) pemerintah Inggris mengakui kemungkinan lebih dari 55 ribu kasus infeksi di negara itu.
Baca juga: LV, ZARA, dan Nivea Produksi Alat Kesehatan, Amunisi untuk Perangi Corona Bertambah
Seorang pakar penyakit dari Universitas Columbia, Jerry Shaman mengatakan kepada media Perancis, AFP bahwa 'mungkin' negara maju mengidentifikasi satu dari lima dan satu dari 10 infeksi sejati.
Shaman mengatakan, terdapat berbagai alasan mengapa minim tes virus di beberapa negara. Di antaranya termasuk ketersediaan tes, kapasitas dan ketidaktahuan (tidak anggap serius masalah), kesombongan (kebanggaan nasional).
Tingkat deteksi virus yang rendah adalah masalah besar bagi pemerintah yang ingin memperlambat penyebaran dan mengurangi tekanan pada sistem kesehatan.
Baca juga: Virus Corona: Sepuluh Hal yang Paling Sering Ditanyakan Mengenai Covid-19 Beserta Jawabannya
"Banyak kasus infeksi ringan yang sangat menular. Jadi, mereka tetap melakukan rutinitas normal, pergi bekerja, naik transportasi umum, berbelanja, sambil (tidak mereka ketahui) telah menyebarkan virus di komunitas yang lebih luas," kata Shaman.
Memang, secara umum kondisi pasien dengan gejala lebih menular dibandingkan pasien yang tidak menunjukkan gejala infeksi apa pun. Tetapi, tetap saja kasus infeksi ringan tanpa gejala harus diwaspadai.
Jika terjadi percampuran antara orang terinfeksi tanpa gejala di sebuah komunitas rentan, tentu bukan berita baik buat pemerintah.
Baca juga: Video Pemuda Minum Disinfektan untuk Cegah Virus Corona, Aparat Saudi Bertindak
Kapasitas pengujian sangat berbeda, bahkan di antara negara-negara kaya. Cecile Viboud, seorang ahli epidemiologi di Institut Kesehatan Nasional AS, memilih Korea Selatan untuk dipuji.
Setelah lonjakan kasus pada bulan Februari, otoritas Korea meningkatkan kapasitas pengujian dan menerapkan langkah-langkah ketat untuk mencegah penularan lebih lanjut.
"Titik balik yang nyata adalah peningkatan kuat dalam pengujian yang mereka lakukan," katan Viboud kepada AFP.
Baca juga: Selama Wabah Corona Berlangsung, AS Izinkan Imigran Ilegal dapat Akses Pengobatan
"Anda perlu tahu kondisi tubuh Anda saat wabah terjadi, untuk dapat melakukan sesuatu tentangnya. Dan untuk bisa berbuat demikian itu, Anda perlu diuji."
Kepala Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus menggemakan seruan agresif pada hari Senin dengan pesan sederhana untuk semua negara: "uji, uji, uji".
Melalui Twitter, Tedros mengatakan bahwa jika seseorang positif terjangkit virus corona, mereka harus segera diisolasi. Orang-orang yang sebelumnya kontak dengannya juga harus dicari tahu dan diuji.
Baca juga: Berkata Rasial Saat Jumpa Pers Virus Corona, Trump Didebat Wartawan
Kepala Institut Infeksi dan Imunitas Peter Doherty di Universitas Melbourne, Sharon Lewin mengatakan contoh lain yang baik tentang pengujian dan melacak kontak pasien terjadi di Singapura.
Singapura sangat cepat dan dini dalam melakukan uji virus. Mereka juga mengejar kasus infeksi dengan pelacakan kontak dan langsung mengkarantina kontak.
Baca juga: Hotel Bintang Empat di Madrid Disulap Jadi Fasilitas Medis untuk Tangani Virus Corona
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.