KOMPAS.com - Angkringan cukup melekat dengan daerah Yogyakarta. Banyak masyarakat lokal bahkan wisatawan yang menjadikan angkringan sebagai tujuan di kala perut sedang lapar saat malam hari.
Selain di Yogyakarta, angkringan juga bisa kamu temui di beberapa daerah Indonesia lainnya seperti Solo dan Surabaya.
Baca juga:
Ketiganya memiliki perbedaan dari masakan, minuman, hingga jam buka angkringan. Berdasarkan pengamatan Kompas.com, berikut ini perbedaan dari ketiganya yang menarik untuk diketahui.
Melansir dari artikel Kompas.com yang tayang pada Minggu (09/08/2020), Gunadi dan Suwarna selaku founder ikon Desa Cikal Bakal Angkringan mengatakan bahwa angkringan diciptakan oleh warga Klaten bernama Eyang Karso Dikromo dari Desa Ngerangan.
Baca juga: Sejarah Angkringan dari Desa Ngerangan Klaten, Kini Populer di Yogyakarta
Pada tahun 1930-an, Mbah Karso merantau ke Solo. Di sana, Mbah Karso bertemu dengan Mbah Wiryo yang berjualan terikan dengan menggunkaan pikulan tumbu pada tahun 1943.
Keduanya bertukar pikiran dan menemukan inovasi pikulan jualannya.
Di solo, angkringan sering disebut dengan hik. Suwarna menyebutkan kalau hik berasal dari cara menjualnya yang bersautan hiyeek!.
Namun menurutnya, ada juga yang menyebut kalau hik itu dari pembeli yang sendawa. Menurutnya, tidak ada yang pasti asal kata hik itu sendiri.
Baca juga: Resep Sate Usus Ayam ala Angkringan, Bisa buat Jualan
Masih dalam laman artikel Kompas.com yang sama, kata angkringan banyak digunakan di Yogyakarta. Pedagang angkringan yang awalnya dipikul menjadi gerobak pada tahun 1970-an.
"Itu karena kalau kesandung air panas tumpah ke kaki, salah satu penjual yang membuat ide menggunakan gerobak. Baru jadi gerobak seperti sekarang tahun 1980an," jelas founder ikon Desa Cikal Bakal Angkringan.
Kini, angkringan pun menyebar hingga ke berbagai daerah Indonesia. Bukan hanya berbagai daerah saja, tetapi juga Jepang, Amerika Serikat, dan Swedia seperti yang disebutkan oleh Gunadi dan Suwarna.
Baca juga: 15 Resep Wedang Hangat untuk Tingkatkan Imun Tubuh