KOMPAS.com – Masyarakat Minangkabau terkenal dengan kebiasaan merantau.
Lelaki yang sudah cukup umur biasanya akan merantau ke luar daerah untuk menuntut ilmu dan bekerja.
Ternyata kebiasaan ini bisa dirunut jauh hingga ke zaman kerajaan Nusantara. Hal itu salah satunya ditunjukkan dengan adanya empat jalur sungai yang menjadi jalur transportasi leluhur orang Minang.
Sejarawan Fadly Rahman mengatakan bahwa dengan adanya empat jalur sungai ini, menunjukkan leluhur Minang memang melakukan tradisi merantau dalam rangka melakukan perdagangan.
Baca juga: Tradisi Unik Penjual Nasi Kapau di Sumatera Barat, Jualan Makanan Keliling
Keempat jalur tersebut adalah jalur Sungai Rokan, Kampar, Indragiri, dan Batanghari.
Hal itu ia sampaikan kala menjadi narasumber dalam sesi webinar “Selintas Perjalanan Rantau: Lapau Nagari Kapau” yang diselenggarakan Aksara Pangan, Kamis (22/10/2020).
“Jadi kalau kemudian kita menemukan kesamaan budaya atau kuliner di beberapa perlintasan seperti di Jambi, Riau, ini memang dihasilkan juga dari perjalanan panjang dengan menggunakan perahu dagang,” tutur Fadly.
Kebiasaan merantau tersebut terus berlanjut hingga masa kolonialisme Belanda. Namun ada yang berbeda dari kebiasaan merantau orang Minang pada masa lalu dan masa kolonialisme.
Setelah Belanda berkuasa pada abad ke-19, terjadi Perang Padri antara kaum adat dan kaum reformis agama Islam pada tahun 1803-1838.
Perang tersebut termasuk salah satu yang memberikan dampak luar biasa baik secara ekonomi maupun korban jiwa.
Perang Padri yang awalnya berlangsung sebagai perang saudara, lama kelamaan berubah menjadi perang dengan kolonialis Belanda.
Singkat cerita, Belanda berhasil mengalahkan para pejuang kala itu. Belanda yang kini menguasai wilayah Kerajaan Pagaruyung di Minang ini kemudian menetapkan beberapa strategi untuk mempertahankan wilayah mereka.
Baca juga: Apa Bedanya Makan Nasi Kapau di Tempat dan Dibungkus?
“Pemerintah kolonial melakukan satu strategi yang sangat sistematis yaitu dengan mengeluarkan laki-laki Minang dari kampung halamannya," jelas Fadly.
"Sebab dengan banyaknya komunitas laki-laki maka akan sangat mungkin terjadi pemberontakan,” lanjutnya.
Karena dipaksa keluar, maka kampung-kampung di Minangkabau kemudian lebih banyak diisi oleh kaum perempuan. Khususnya setelah abad ke-19 sampai 20.