Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Sebab Terjadinya Limbah Pangan? Berawal dari Proses Pascapanen

Kompas.com - 13/10/2020, 15:15 WIB
Syifa Nuri Khairunnisa,
Yuharrani Aisyah

Tim Redaksi


KOMPAS.com – Angka food waste dan food loss yang terjadi bisa dibilang sangat besar. Rata-rata pangan holtikultura segar di Indonesia bisa mengalami kehilangan sampai 32 persen. Jika untuk kondisi terburuk, bahkan bisa mencapai 70 persen.

Baca juga: Apa Bedanya Food Loss dan Food Waste? Limbah Makanan yang Jadi Masalah

Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi, MSc., CFS., Vice Chairperson of CODEX Alimentarius Commission dalam acara webinar “Foodcycle World Food Day 2020”, Jumat (9/10/2020).

“Secara khusus di Indonesia dilaporkan bahwa pada tingkat kehilangan produk holtikultura ini mencapai 40-60 persen yang diakibatkan karena penanganan pascapanen yang terbatas teknologinya,” kata Purwiyatno.

Terjadinya food loss dan food waste dalam rantai pasok pangan atau food supply chain bisa disebabkan oleh banyak hal. Hal-hal tersebut biasanya terjadi dalam proses pascapanen.

Berdasarkan hasil penelitian Yusdar Hilman dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Holtikultura pada 2011, disebutkan bahwa penyebab tingginya angka kehilangan pangan ini adalah kekurangan teknologi, infrastruktur, dan penanganan yang buruk.

Ilustrasi proses pengangkutan pascapanen pada jagungShutterstock/smart.art Ilustrasi proses pengangkutan pascapanen pada jagung

Penanganan pascapanen yang buruk

Dari penelitian Sigit Nugraha, Ridwan Thahir, dan Sudaryono yang berjudul “Keragaan Kehilangan Hasil Pascapanen Padi pada 3 Agroekosistem” dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, terjadi kehilangan sekitar 10-15,6 persen pada hasil panen padi.

Jumlah tersebut bergantung dengan daerah tempat menanam padi. Dalam penelitian tersebut dicontohkan bahwa kehilangan hasil panen pada ekosistem padi lahan pasang surut sebesar 15,26 persen.

Dari jumlah tersebut sekitar 3,07 persennya terjadi dari proses pemotongan yang kurang baik. Sementara sekitar 0,58 persen kehilangan terjadi dari proses penumpukan pagi. Lalu dari proses pengumpulan jerami sekitar 1,75 persen.

Kemudian dari proses perontokan yang termasuk di dalamnya proses penundaan perontokan 1,63 persen, tercecer 1,62 persen, gabah tak terontok 0,30 persen, penjemuran 1,52 persen, penyimpanan 2,24 persen, dan penggilingan 2,60 persen.

Ilustrasi proses petani memisahkan gabah dari beras dengan cara tradisionalShutterstock/SERASOOT Ilustrasi proses petani memisahkan gabah dari beras dengan cara tradisional

“Kita bisa bayangkan, karena teknologinya tidak terlalu berkembang di sana, sarananya tidak bagus,” ujar Purwiyatno.

Misalnya, ketika petani menampi gabah dengan proses sederhana melempar-lemparnya menggunakan tampah besar dari bambu. Jumlah gabah yang tercecer dari proses tersebut sangatlah banyak.

Selain itu, ketika proses menjemur yang biasa dilakukan di jalan terdapat banyak sekali gabah yang tercecer dan akhirnya tertinggal di jalan.

Transportasi yang kurang baik

Selain proses pascapanen oleh petani dan teknologi yang kurang baik, proses pengangkutan hasil panen ke pasar misalnya bisa dibilang masih kurang baik.

Ilustrasi pengangkutan sayuran hasil panen yang menyebabkan banyak food lossShutterstock/PI Ilustrasi pengangkutan sayuran hasil panen yang menyebabkan banyak food loss

Purwiyatno mencontohkan sayuran yang setelah dipanen kemudian akan dibawa ke pasar.

Ketika diangkut, sayuran dibawa menggunakan transportasi yang bisa dibilang kurang layak. Sayuran ditumpuk-tumpuk begitu saja dalam mobil bak terbuka, bahkan tanpa penutup.

“Kita bisa bayangkan berapa persen itu yang mengalami kerusakan fisik karena tertekan. Apalagi selama transportasi terantuk dengan jalan yang kurang halus,” papar Purwiyatno.

Maka dari itu, menurut Purwayitno, diperlukan fokus yang lebih baik lagi dari pemerintah untuk bisa memberikan atau mendatangkan investasi untuk produk berbasis holtikultura.

Terutama untuk penanganan serta transportasi produk yang memerlukan cold chain untuk menjaga kondisinya tetap baik sampai ke konsumen. Apalagi jika membicarakan soal produk hasil peternakan yang sangat perishable atau mudah rusak.

“Karena kita tahu di Indonesia ini masih belum tersedia dengan baik. Kalau itu bisa ditingkatkan, dari tingkat produksi bisa meningkat dan refleksinya yaitu pada penghasilan para petani yang meningkat,” tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com