KOMPAS.com – Buat kamu pencinta sate mungkin sudah tak asing lagi dengan sate legendaris di Jakarta ini.
Sate Apjay telah eksis sejak tahun 1971. Sate yang berlokasi di Jalan Panglima Polim IX ini bisa dibilang berbeda dari sate yang lain.
Baca juga: 12 Tempat Kuliner Malam Legendaris di Jakarta, Buat Makan di Rumah
Mardi, generasi kedua yang dipercaya sang perintis untuk meneruskan sate Apjay mengatakan bahwa satenya ini masih setia menggunakan resep turun temurun.
Mereka juga hanya menggunakan daging dada ayam saja dari tiap satu ekor ayam.
“Kita cuma pakai daging ayam dadanya saja, kita jamin kalau ada lemak atau kulit di sate daging akan kita ganti sepuluh tusuk, atau satu porsi sate daging Apjay,” kata Mardi pada Kompas.com, Jumat (13/6/2016).
Sate Apjay menggunakan minyak hasil sulingan kacang dan jeruk nipis yang membuat aroma satenya punya wangi khas.
Berbeda dari sate lain yang biasanya menggunakan lemak untuk memenuhi tusukan dan membuat sate wangi.
Tak itu saja, pria kelahiran Madura ini juga memproses sate Apjay hingga dua kali. Tahap pertama sate dibumbui dan dibakar hingga setengah matang.
Setelah itu, sate yang sudah setengah matang disimpan untuk dijual. Proses pembakaran kedua akan dilakukan ketika pembeli sudah memesan.
Ia juga mengaku bahwa daging ayam yang digunakan hanya menggunakan ayam kate.
Daging ayam kate yang sudah dipotong pun harus digunakan secepat mungkin, paling lama setengah jam disimpan dalam freezer setelah dipotong sebelum dimasak.
Tak hanya sate daging, di sini juga terdapat aneka macam sate lain. Ada sate daging, sate telur, dan sate campur.
Sate telur terdiri dari telur ayam dan bagian kulit. Sajian ini berasal dari telur ayam yang masih tertinggal di perut ayam, sehingga hanya terdiri dari kuning telur.
Dagingnya pun padat tetapi tidak alot. Pasalnya daging ayam dipotong mengikuti garis serta tertentu sehingga empuk dan tidak hancur ketika dimasak.
Menurut Mardi, dalam sehari ia bisa menghabiskan 75 kilogram dada ayam untuk empat cabangnya.