KOMPAS.com – Perkebunan kopi di area Gunung Puntang, Bandung Selatan menghasilkan biji kopi arabica berkualitas tinggi. Perkebunan kopi di sini ternyata punya sejarah panjang, telah ada sejak zaman Belanda era 1700-an.
Hal itu diungkapkan oleh Dadang Hendarsyah, Unit Head dan ICS Manager PT. Olam Indonesia Sunda Cluster. Olam salah satunya melakukan pembinaan pada para petani di area Gunung Puntang tersebut.
Ia bercerita kala itu Jawa Barat jadi daerah pertama di pulau Jawa yang jadi lokasi budidaya kopi pada zaman Belanda.
Baca juga: Asal-usul Kopi Gerudag dari Sumatera Selatan yang Masuk Kategori Specialty
“VOC itu dari 1700-an. Tapi karena dulu terkena penyakit karat daun lalu banjir di Jawa Barat kopinya itu tidak berkembang,” kata Dadang ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (8/9/2020).
“Nah 1756-1760 kopi itu dibawa lah ke Sumatera, ditanam di wilayah Bukit Barisan. Terus ke Sulawesi, ke Aceh. Asalnya kopi dari Jawa Barat itu,” sambung dia.
VOC pada saat itu membawa biji kopi ke Jawa Barat melalui jalur ekspor ke Batavia. Selama beratus-ratus tahun kemudian, biji kopi yang tumbuh di Jawa Barat dibiarkan tumbuh apa adanya secara alami.
Tanaman-tanaman kopi di Jawa Barat yang dibiarkan tumbuh secara alami kemudian baru mulai dikembangkan secara serius pada tahun 1997-1998. Ketika itu ada program Kredit Usaha Tani (KUT). Para petani di Jawa Barat diberi fasilitas berupa lahan pertanian.
“Jadi petani sistemnya sewa. Tapi pemerintah saat itu tidak menegaskan bahwa petani tidak boleh menebang hutan atau dilarang memasuki hutan,” jelas Dadang.
Maka dari itu petani mulai menggarap tanah pertanian tersebut tapi mereka masih merambah hutan. Alhasil hutan menjadi gundul karena petani menanam sayuran yang tidak berkelanjutan dan memerhatikan kesejahteraan lingkungan.
Saat itu juga tanaman kopi mulai masuk kembali ke Jawa Barat. Selain tanaman kopi yang dibiarkan tumbuh alami sejak zaman Belanda, tanaman diperbanyak lagi dengan mendatangkan biji kopi dari Sumatera yang saat zaman Belanda dulu berasal dari Jawa Barat.
Namun sayangnya, para petani saat itu masih belum mau mengembangkan tanaman kopi secara serius. Mereka masih lebih memilih menanam sayuran daripada kopi.
“Karena kopi kan panen satu tahun sekali. Tapi kalau sayur itu tiga bulan, ada yang enam bulan, ada yang delapan bulan.”
Karena periode panen yang lebih singkat itulah para petani tetap memilih menanam sayuran. Mereka juga belum memedulikan lingkungan sekitar. Para petani merambah dan menebangi pepohonan di hutan.
Namun berangsur-angsur para petani mengetahui bahwa harga biji kopi juga cukup menggiurkan. Dadang mengatakan saat itu biji kopi bisa dihargai sekitar Rp 2.000 – Rp 2.500 per kilogram. Itu membuat para petani tertarik untuk mengembangkan kopi.
Perubahan signifikan semakin terasa ketika Koperasi Classic Bean terbentuk pada 2007. Saat itu, kata Dadang, koperasi baru beranggotakan 5-8 petani di Gunung Puntang.