Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah dan Makna Ayam Ingkung, Makanan Sesaji dalam Adat Jawa

Kompas.com - 20/08/2020, 19:11 WIB
Yana Gabriella Wijaya,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kemeriahan acara syukuran seperti pernikahan atau kelahiran di Indonesia umumnya selalu ada makanan simbolik.

Tak terkecuali dalam adat Jawa, makanan erat dengan makna tertentu. Salah satu makanan syukuran dalam adat jawa adalah ayam ingkung.

Ayam ingkung merupakan ayam utuh yang dihidangkan bersama jeroannya. Bukan sekedar ayam yang dimasak, ada filosofi yang melekat pada ayam ingkung. 

Travelling Chef Wira Hardiansya dihubungi Kompas.com, Rabu (19/8/2020), mengatakan ayam ingkung tercatat dalam buku "Atlas Walisongo" karya Agus Sunyoto.

Baca juga: Filosofi Apem pada Tahun Baru Islam, Simbol Kesederhanaan dan Kebersamaan

"Jauh sebelum agama-agama pendatang atau agama asli Nusantara yaitu agama kapitayan telah menyinggung ayam tu-kung sebagai salah satu sesaji yang berkembang menjadi ayam ingkung," jelas Wira. 

Ayam tu-kung atau ingkung selalu disandingkan dengan tumpeng sebagai sesaji.

Ayam Ingkung memiliki arti mengayomi, diambil dari kata jinakung dalam Bahasa Jawa kuno dan manekung yang artinya memanjatkan doa.

Ayam juga dipilih sebagai bahan pokok dalam hidangan ini karena memiliki arti dan makna tersendiri.

 

Ilsutrasi ayam ingkungoshdr / shutterstock Ilsutrasi ayam ingkung

"Zaman dulu ayam di pilih sebagai sesaji sebagai simbol manusia. Makanya telur ayam di simbol kan sebagai kelahiran," jelas Wira.

Ayam ingkung disajikan dengan utuh dan terlihat sedang bersungkur, posisi ini juga mewakili makna tertentu.

 Baca juga: Sejarah Rasa Manis pada Masakan Jawa Tengah, Pengaruh Tanam Paksa

Wira menyebutkan hal ini menggambarkan jika dihadap-Nya, manusia harus menunduk atau merendah dan berdoa kepada-Nya.

"Nya" di sini memiliki arti yang luas, makna "nya" tidak tersudut pada satu kepercayaan, bisa jadi leluhur, dewa, ataupun Tuhan.

Seiring perkembangan zaman, ayam ingkung kini juga sudah dijual di restoran dan tak disajikan hanya untuk acara syukuran.

Baca juga: Sejarah Sosis Solo, Camilan yang Lebih Mirip Risol

"Ya makanan itu sakral dan prestige hanya karena waktu, meskipun di jajakan untuk umum tapi pada waktu-waktu tertentu menjadi sakral," jawab Wira.

Ia juga memberi contoh makanan ketupat. Ketupat pada hari biasa tidak ada nilai yang melekat, tetapi pada saat puasa barulah ada nilai dan maknanya. Hal ini juga terjadi dengan ayam ingkung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com