HARI-hari ini sampai September 2023 nanti, anak-anak muda lulusan SMA/SMK/MA akan sibuk bersaing mengamankan satu kursi di perguruan tinggi. Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi sudah diumumkan pada 28 Maret 2023.
Sekarang tinggal Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBP) dan Jalur Mandiri untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Sementara untuk perguruan tinggi swasta memiliki mekanisme dan jadwal seleksi tersendiri.
Apapun bentuk jalur masuk ke perguruan tinggi negeri maupun swasta, satu hal yang pasti adalah prodi-prodi berbasis vokasional berbentuk D3 atau D4 masih belum menjadi prioritas bagi sebagian besar calon mahasiswa.
Program Sarjana Satu (S1) tetap dianggap lebih tinggi levelnya, baik oleh orangtua maupun siswa sekolah menengah sendiri.
Maka tak salah kemudian, ketika ada calon mahasiswa yang sudah mengamankan kursi di program D3 atau D4, ia masih mencari peluang agar bisa diterima di program Sarjana (S1).
Atau, setelah seorang tamatan SMA/SMK/MA gagal lolos di berbagai tes masuk S1, barulah ia melirik program D3 atau D4.
Daya pesona prodi-prodi vokasi sebenarnya ikut terangkat ketika banyak kampus besar dan mentereng di Indonesia membuka program Vokasi (D3 atau D4).
Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, memiliki “Fakultas” sendiri sebagai rumah bagi program-program vokasi yang dulunya tersebar di berbagai fakultas. Rumah besar vokasi tersebut diberi nama “Sekolah Vokasi”.
Namun kalau dicermati lebih jauh, keberadaan Sekolah Vokasi di UGM dan UI sebenarnya juga jadi pilihan kedua setelah gagal diterima di program Sarjana.
Ada pula semacam stigma bahwa prodi-prodi vokasi yang didirikan oleh kampus-kampus terbaik di Indonesia tersebut tak lebih dari strategi mereka untuk mendapatkan tambahan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) lewat pembukaan kursi yang besar di program vokasi.
Kelemahan dari program Sarjana adalah orientasi pembelajaran yang sangat kuat pada aspek teoritis dan penguasaan konsep.
Seringkali S1 ditempatkan sebagai masa-masa untuk membangun pola pikir dan berkenalan dengan teori-teori utama yang ada pada bidang keilmuan.
Makanya, pola pembelajaran yang lazim di S1 adalah membaca buku dan jurnal kemudian presentasi terkait pemahaman dari bacaan yang telah dikonsumsi tersebut.
Dengan profil lulusan yang sangat kuat aspek teoritisnya, maka perusahaan/institusi kerja (workplace) harus melakukan proses rekruitmen berlapis untuk mendapatkan kandidat karyawan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Setelah mendapatkan “anak-anak muda pilihan” bergelar sarjana, perusahaan/institusi memberikan semacam training bertingkat kepada para calon karyawannya agar mereka beradaptasi dengan pola dan budaya kerja yang sudah terbentuk di lembaga mereka.