KOMPAS.com - Kebijakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mewajibkan siswa SMA/SMK masuk sekolah pukul 5 pagi tentu banyak menuai kritik.
Bahkan setelah dicoba justru aturan tersebut dirasa kurang efektif dan sangat memberatkan siswa apalagi orangtua.
Terkait hal itu, sosiolog Univesitas Airlangga (Unair) Dr. Tuti Budirahayu, MSi., memberikan pandangannya akan kebijakan tersebut.
Ia menilai aturan masuk sekolah jam 5 pagi harus dibuat dengan dasar dan tujuan yang jelas berdasarkan kajian empiris yang sahih dan valid atas keberhasilan program serupa di tempat-tempat lain.
Baca juga: Di NTT, Dosen IPB Kenalkan Budidaya Padi SRI yang Hemat Air
Misalnya saja, sudah ada contoh beberapa sekolah di Indonesia atau di negara-negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut. Atau siswanya berhasil dalam bidang akademik maupun non akademik.
"Maka, kebijakan tersebut layak diuji cobakan. Jika tidak atau belum ada kajian yang komprehensif dan valid, lebih baik ditunda dulu dan cari kebijakan-kebijakan lain yang memiliki tujuan yang sama," ujarnya dikutip dari laman Unair, Jumat (3/3/2023).
Dikatakan, jika aturan tersebut hanya berdasarkan pada satu kebijakan tunggal tanpa diiringi dengan kebijakan-kebijakan lain yang mendukung tujuan tersebut.
Maka, hasil dari aturan tersebut tidak akan optimal. Dengan kata lain, pemajuan jam masuk sekolah tidak akan menghasilkan apa-apa.
Jadi, seharusnya perlu ada inovasi pembelajaran yang berfokus pada tujuan-tujuan yang komprehensif.
"Misalnya, masuk pagi dimulai dengan olahraga bersama dengan tujuan melatih fisik dan sportivitas siswa serta menyegarkan badan dan pikiran siswa," ungkap dia.
Baca juga: Serikat Guru Minta Pemprov NTT Batalkan Masuk Sekolah Pukul 05.00 Wita
Barulah setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan literasi, di mana siswa diberi waktu 1 jam untuk membaca buku dan berdiskusi.
"Selebihnya silahkan melakukan kegiatan pembelajaran seperti biasa. Yang penting, dari program-program dan kebijakan inovatif tersebut harus dievaluasi secara berkala," jelasnya.
Tuti yang juga dosen FISIP Unair tersebut mengatakan, aturan tersebut tentu akan memberatkan siswa karena mereka mau tidak mau harus patuh terhadap aturan sekolah.
Namun disisi lain, aturan tersebut belum tentu membuat siswa senang dan semangat untuk bersekolah.
Jadi di dalam istilah sosiologi pendidikan, siswa dapat mengalami kekerasan simbolik. Artinya, siswa dan para guru sebenarnya mengalami kekerasan akibat aturan yang dibuat oleh pemerintah.