Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hery Wibowo
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran

Pengamat Sosial, praktisi pendidikan dan pelatihan

Menghayati Tantangan Pendidikan Karakter

Kompas.com - 22/02/2023, 15:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBUAH pepatah klise menyatakan, ”Sebanyak apapun kata-kata nasehat yang orang tua berikan pada anak, tetap yang lebih banyak diikuti oleh anak adalah apa yang orang lakukan dan disaksikan sang anak”.

Maknanya, anak belajar dari apa yang diamati, diobservasi setiap hari dari lingkungan terkecil (orang tua-keluarga) sampai lingkungan terbesar (sekolah, masyarakat), termasuk dunia maya (media sosial/digital).

Apakah hal yang dominan yang menjadi obyek observasi generasi muda bangsa ini sekarang? Secara sepintas lalu, kita dapat menghitung kualitas dan kuantitas stimulus (baik pada dunia maya/nyata), pada sistem ekologis kita yang akan diserap oleh anak-anak (generasi penerus).

Hal itu tentu penting dalam membangun generasi. Tulisan ini bukan untuk menunjukkan keprihatinan, tetapi lebih kepada ajakan untuk turut peduli dan memikirkan proses alamiah pembetukan karakter generasi masa depan. Karena, sungguh sulit menghitung stimulus pembelajaran yang berpontensi diserap melalui panca indera anak, yang mampu membangun karakter positifnya.

Baca juga: Ad Maiorem Dei Gloriam dan Riwayat Pendidikan Karakter Sekolah Katolik

Di sisi lain, sangat mudah kita prihatin saat ini melihat ribuan jenis stimulus, hadir berlawan arah dengan pembentukan karakter positif. Negera ini memerlukan generasasi penerus yang baik, yang dapat mempertahankan kestabilan masyarakat sebagai organisme biologis.

Perspektif struktural fungsional (Wirutomo, 2022) menjelaskan, masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling terikat dalam suatu pola keteraturan tertentu (struktur sosial) dan memiliki fungsi khas dan saling bergantung secara fungsional satu sama lain.

Kesalingtergantungan itu, tentunya harus terus dijaga agar tetap pada level saling bergantung dan saling memengaruhi pada hal-hal kebaikan. Bukan sebaliknya, dukung-mendukung dalam hal yang tidak memberikan dampak positif pada pembentukan karakter anak.

Blumer (Chawa, 2021), tokoh sosiologi dengan teorinya tentang interaksionisme simbolik menyatakan: (1) Masyarakat terbentuk dari kumpulan interaksi sosial antar individu setiap harinya; (2) Individu-individu tersebut menggunakan simbol dan bahasa saat berinteraksi satu dengan yang lainnya; (3) Makna dari simbol-simbol yang digunakan akan selalu mengalami perubahan; (4) Setiap individu memiliki ide, perasaan dan pemikiran yang berbeda-beda dalam memaknai atau mengartikan simbol-simbol tersebut.

Maka, melalui pemahaman itu, sangat disadari bahwa kita semua bertanggung jawab untuk menghadirkan ekosistem terbaik bagi pembelajaran anak, khususnya dalam pembentukan karakternya. Para praktisi pendidikan mengemban amanah untuk membangun ragam interaksi sosial, yang ditandai dengan adanya kontak dan komunikasi, melalui simbol-simbol kondusif, yang dapat membangun ide, perasaan dan pemikiran yang positif.

Sekaligus, melalui pemahaman ini, kita dapat membayangkan potensi buruk hasil pendidikan karakter, jika ragam interaksi yang terjadi di masyarakat bukanlah stimulus baik bagi peningkatan moralitas (karakter positif), seperti yang mudah sekali ditemui dewasa ini.

Jika yang dominan disaksikan dan diobservasi anak (selaku pembelajar) adalah rangkaian kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, aksi penipuan untuk cepat menjadi kaya, pemukulan untuk menunjukkan kuasa, pembuhunan untuk menghilangkan jejak kejahatan, pelecehan seksual sebagai pemuas nafsu, dan ragam games online yang lekat dengan darah dan kekerasan, maka dapat dibayangkan pemaknaan yang akan didapat dari anak, ketika hampir setiap saat selalu berinteraksi dengan simbol-simbol tersebut.

 

Pentingnya Keteladanan

Pendidikan karakter menekankan pada keteladanan. Maka, sejatinya, dengan memperhatikan manusia sebagai ’peniru’ perilaku aktor signifikan di sekitarnya (significant others), diperlukan sebuah sistem dan sub sistem yang mampu menjadi lingkungan kondusif bagi para pembelajar.

Guru dan orang tua, jelas memiliki amanah menjadi role model pembentukan karakter/moralitas yang baik. Namun, seberapa persenkah stimulus kebaikan tersebut terinstal oleh anak, dibandingkan ragam stimulasi lainnya yang lebih ’menarik"?.

Mampukah 30-40 persen waktu berinteraksi dengan guru/orang tua menghasilkan penghayatan yang baik tentang karakter positif dibandingkan ragam stimulasi lainnya?

Tantangan selanjutnya dalam upaya untuk membangun ekosistem positif untuk membangun karakter baik generasi muda bangsa adalah pada sifat dari luaran pendidikan karakter yang cenderung ’tersembunyi’.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com