Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar Unkris Ingatkan Akademisi Independen Sikapi Kasus Peradilan

Kompas.com - 14/02/2023, 17:57 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof. Gayus Lumbuun mengingatkan akademisi tetap independen dalam menyikapi kasus peradilan.

Hal tersebut disampaikan Prof. Gayus menanggapi kemunculan sekelompok guru besar yang menamakan diri sebagai Aliansi Akademisi Indonesia (AAI) kemudian turun gunung, bertindak sebagai amicus curiae dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Mereka bahkan secara khusus menyurati ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menangani perkara pembunuhan Brigadir J dan meminta agar hukuman terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E diperingan, lantaran Bharada E telah berperan sebagai justice collaborator.

Amicus curiae adalah bentuk pertemanan atau perkoncoan dengan lembaga peradilan. Bila tidak dalam kondisi menangani perkara, bisa-bisa saja. Tapi ketika hakim menangani suatu perkara, pertemanan jelas sangat tidak diperbolehkan," jelas Prof. Gayus.

"Ini sangat bertentangan dengan kemandirian pengadilan,” tambah Prof. Gayus melalui rilis resmi (14/3/2023).

Terkait aksi sejumlah guru besar meminta hakim memberi keringanan hukuman terhadap Bharada E, Prof. Gayus mengingatkan adanya tiga adagium dalam persoalan hukum.

"Yakni fiat justicia et pereat mundus yang artinya meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan. Atau fiat justitia ruat caelum yang berarti hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh. Dan, lex dura sedtamen scripta yang bermakna hukum adalah keras, dan memang itulah bunyinya atau keadaannya, semua itu demi kepastian di dalam penegakannya," jelasnya.

“Jangankan turun gunung, langit dan dunia runtuh pun, hukum harus tetap ditegakkan. Ini yang harus menjadi pegangan para hakim. Hukum tidak bicara soal permintaan seorang atau kelompok, tapi hukum tetap hukum yang harus ditegakkan berdasarkan tiga pertimbangan yang mengandung kebenaran tadi,” tegas Prof Gayus.

Baca juga: Dukung Richard Eliezer, Ikatan Alumni FH UAJ Ajukan Amicus Curiae ke PN Jaksel

Menurutnya para guru besar yang mengklaim sebagai friends of court tersebut harusnya memahami eksistensi dan filosofi hukum yang sebenarnya. Tidak lantas mencampuradukkan emosi atau perasaan yang bisa mengganggu independensi dan imparsial pengadilan.

Meski begitu, Prof Gayus memahami bahwa turunnya sekelompok guru besar tersebut sejatinya berniat menyuarakan keadilan yang merupakan bagian dari social justice. Hanya saja, lebih baik tidak menggunakan istilah amicus curiae.

“Bilang saja gerakan social justice, kan justru terkesan lebih intelektual,” imbuhnya.

Prof Gayus juga menyesalkan pengiriman surat oleh AAI kepada hakim yang bertujuan meringankan hukuman bagi Bharada E. Bagi Gayus, hal tersebut mestinya tidak perlu dilakukan.

Sebab menyurati hakim, bisa diartikan sebagai tindakan mengintervensi proses peradilan dan itu bisa menjadi preseden buruk bagi peradilan di Indonesia.

“Menyurati hakim terkait substansi suatu perkara adalah bentuk intervensi terhadap lembaga peradilan. Jika ini terjadi dikhawatirkan bisa mengganggu jalannya peradilan. Mestinya kalau mau bersurat menyampaikan aspirasinya, ke Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa para guru besar yang menamakan diri sebagai AAI tersebut tidak perlu memiliki prejudice (prasangka) yang aneh-aneh. Sebab hakim dalam bekerja dan memutuskan perkara pasti sesuai pertimbangan dan kebenarannya. Apalagi ini baru pengadilan tingkat pertama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com