SETELAH pandemi terus melandai, kalau kita perhatikan, tidak serta merta proses pembelajaran daring ikut melandai.
Setidaknya yang dialami penulis saat menuntaskan jenjang pendidikan tinggi, daring digunakan berdampingan dengan pembelajaran luring yang sudah seperti sebelum pandemi.
Tulisan ini bermaksud menelaah (review) sekaligus meneropong (outlook) platform pendidikan daring/EdTech (Education Technology) di dalam negeri pada 2022 sekaligus proyeksi tahun depan yang serba menantang dengan prakiraan resesi Wintech/winter in technology.
Data per April 2022, Tech in Asia mengidentifikasi sedikitnya 51 perusahaan teknologi lokal yang berkecimpung di bidang layanan edtech.
Hal ini meliputi layanan kursus online vokasi dan sertifikasi kemampuan/skill secara digital, pinjaman pendidikan, platform khusus bahasa, platform belajar kurikulum 12 tahun (K-12), dan layanan software administrasi.
Pelaku terbanyak ditemukan pada model bisnis pelatihan vokasi dan sertifikasi kemampuan digital, dengan jumlah pemain mencapai 18 perusahaan.
Adapun total pendanaan yang mengalir ke sejumlah startup di sektor ini per bulan April 2022 sedikitnya mencapai 277 juta dollar AS (Rp 3,9 triliun). Salah satunya memperoleh total penggalangan dana terbesar 205 juta dollar AS (sekitar Rp 2,8 triliun).
Pun demikian, sekalipun secara pemain banyak, namun kesediaan masyarakat membayar relatif rendah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di atas, segmen pasar pendidikan terbesar di Indonesia, berdasarkan jumlah siswanya, sejauh ini adalah siswa sekolah dasar (SD).
Namun, secara historis, segmen pasar dengan daya beli terbesar adalah orangtua siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Hal ini dikarenakan adanya ujian nasional (UN) dan ujian seleksi (SNMPTN/SBMPTN/UTBK) yang dilakukan pada tahun akhir sekolah.
Oleh karena itu, mayoritas edtech menargetkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sebagai pasarnya seperti SMA dan SMK.
Sebab, rintangannya cenderung lebih rendah daripada segmen sekolah dasar dan menengah pertama, sehingga menciptakan lanskap yang sangat kompetitif.
Lebih jauh, ujian akhir dianggap sebagai pemicu utama pengeluaran pendidikan karena tingginya transaksi kepada layanan pendidikan, khususnya kelas persiapan intensif.
Di sisi lain, ditemukan kurangnya literasi digital dan motivasi belajar pada pengajar. Survei Literasi Digital oleh Kemenkominfo pada 2020 di 34 provinsi, dengan melibatkan 1.670 responden, menunjukkan skor literasi digital Indonesia 3,47 dari total 5.