Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Ajukan Kebaya Lewat Single Nomination, Ini Kata Dosen Unair

Kompas.com - 03/12/2022, 19:37 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Rencana usulan kebaya sebagai salah satu warisan tak benda UNESCO oleh Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand menuai kontroversi.

Isu tersebut ditanggapi langsung oleh Menparekraf Sandiaga Uno yang menegaskan kebaya adalah budaya luhur milik bangsa Indonesia.

Baca juga: 30 BUMN Buka Lowongan Kerja Lulusan Diploma, S1, dan S2, Ini Infonya

Tidak hanya itu, dia juga secara resmi memutuskan untuk mendaftarkan kebaya melalui jalur single nomination.

Adanya itu itu, Dosen Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Moordiati angkat suara soal itu.

Dia berpendapat keputusan pemerintah untuk mendaftarkan kebaya melalui jalur single nomination adalah keputusan yang tepat.

Hanya saja, pemerintah perlu menjelaskan kembali bagaimana patron kebaya Indonesia untuk meluruskan kontroversi tersebut.

"Kalau kita membaca secara general tulisan Anthony Reid yang berjudul Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, sebenarnya masyarakat Asia Tenggara itu sama, tidak punya kekhususan ataupun keunikan dalam cara berpakaian," ucap dia dalam keterangannya di laman Unair, Sabtu (3/12/2022).

Namun, kata dia, ketika Barat masuk, mereka hidup bersama dan berpakaian ala Barat.

Kemudian, ada iktikad baik dari masyarakat Indonesia untuk memakai pakaian yang mencerminkan locality.

"Dari sanalah, masyarakat Indonesia menampilkan pakaian-pakaian khasnya," tambah dia.

Baca juga: SNPMB 2023, Siswa dari IPA, IPS, dan Bahasa Bebas Pilih Prodi PTN

Moordiati menuturkan, negara-negara di Asia Tenggara memang mengenal dan memiliki kebaya, tetapi kebaya Indonesia dengan kebaya-kebaya di Asia Tenggara lainnya jelas memiliki karakteristik yang berbeda.

Dalam hal ini, kebaya menurut pandangan masyarakat Indonesia adalah kebaya yang dipakai ketika rezim pemerintahan Soeharto.

Tidak ada representasi atau identifikasi keislaman yang bertujuan untuk menutup aurat, seperti kebaya orang muslim di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Kegaduhan ini, sambung dia, harus diluruskan dengan cara menjelaskan secara jelas patron yang disebut kebaya itu seperti apa. Untuk itu, jangan digeneralisir, karena Indonesia juga mengenal kebaya encim China yang ada di kawasan Malaysia dan Singapura.

"Artinya, kebaya yang made in Indonesia itu seperti apa, yaitu ada kuduk baru, tidak ada leher shanghai. Pelengkap dari kebaya itu apa, panjangnya berapa. Ini yang harus dijelaskan ketika mengusulkan sebagai warisan UNESCO," jelas dia.

Kebaya sudah diklaim dalam Kongres Wanita Indonesia 1964

Lanjut dia menyebut, dalam proses sejarahnya kebaya sudah diklaim oleh bangsa Indonesia pada masa pemerintahan presiden Soekarno dalam Kongres Wanita Indonesia pada tahun 1964.

Baca juga: Calon Mahasiswa, Ini Biaya Ikuti Seleksi UTBK-SNBT 2023

Dalam kongres tersebut, Presiden Soekarno mengatakan, kebaya merupakan busana nasional Indonesia, tanpa embel-embel pelengkap apapun.

Catatan sejarah tersebutlah yang sebenarnya juga perlu Indonesia sampaikan kembali ketika proses pengusulan ke UNESCO.

Baca juga: Kemendikbud Ristek Ungkap Alasan Ubah Mekanisme Seleksi Masuk PTN 2023

"Meskipun banyak orang mengklaim budaya kita, jika kita berkaca ke sejarah, kita bisa menampilkan karakteristik budaya kita sendiri. Karena yang selama ini kita lihat itu hanya menjelaskan kebaya, tapi what kind of kebaya, itu tidak ada, seperti jenisnya, tipologinya, pelengkapnya. Ini yang perlu dijelaskan lagi oleh pemerintah. Jadi memang perlu ada single nomination," tukas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com