Oleh: Naomi Soetikno (dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara) | Sherly (mahasiswa Program Studi Psikologi Profesi Jenjang Magister, Universitas Tarumanagara) | Aretha Ever Ulitua (mahasiswa Program Studi Psikologi Profesi Jenjang Magister, Universitas Tarumanagara)
KOMPAS.com - Fenomena mengenai masalah perilaku eksternalisasi ternyata telah banyak terjadi pada anak-anak di seluruh dunia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus perundungan terhadap anak-anak paling banyak didominasi oleh siswa Sekolah Dasar (SD) (Maradewa, 2019).
Baca juga: Ini 3 Pihak yang Terlibat dalam Kasus Bullying
Perundungan yang terjadi ini seperti anak yang dituduh mencuri, anak yang dirundung oleh teman-temannya juga anak yang dirundung oleh pendidik atau bahkan anak yang melakukan perundungan terhadap guru hingga adanya perlakuan saling ejek di dunia maya (Maradewa, 2019).
Hal ini mengungkapkan, bahwa artinya tidak hanya di negara maju, tapi banyak siswa-siswi SD di Indonesia memiliki perilaku eksternalisasi.
Perilaku eksternalisasi adalah perilaku yang mengarah keluar dan menimbulkan ketidaknyamanan dan konflik dengan orang lain dan yang mengabaikan norma-norma sosial (Forns, Abad, & Kirchner, 2011).
Perilaku eksternalisasi atau disebut dengan externalizing problems termasuk di dalamnya, yaitu sindrom agresivitas, kenakalan atau perilaku melanggar aturan yang berkaitan dengan perilaku anak.
Perilaku eksternalisasi terdiri dari dua dimensi, yaitu masalah konduk dan hiperaktivitas (Goodman, 1997 dalam Achenbach & Rescorla, 2007).
Masalah konduk sendiri dapat dilihat dari tingkat keadaan emosi anak, tingkat kepatuhan, pertengkaran yang terjadi, kebohongan hingga tindakan mencuri sementara itu hiperaktivitas dapat dilihat dari kegelisahan yang terjadi pada anak, tidak tenang, mudah teralihkan, merenung, dan juga dapat dilihat dari atensinya.
Baca juga: Nadiem Percepat Perbaikan Bangunan Sekolah Terdampak Gempa Cianjur
Parenting stress atau stres orangtua adalah reaksi psikologis terhadap tuntutan menjadi orangtua yang dialami sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri dan terhadap anak, di mana perasaan negatif secara langsung disebabkan oleh tuntutan menjadi orangtua (Crnic & Low, 2002).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya stres pada orangtua, seperti, kemiskinan, terbatasnya akses sumber daya sosio-ekonomi, konteks sosial, serta permintaan tambahan pada pengasuh dari anak yang memiliki kebutuhan perkembangan dan kesehatan khusus.
Tidak hanya itu, stres dapat menimbulkan dampak pada orangtua, seperti adanya perilaku depresif pada anak, perkembangan psikopatologi pada anak, dan berdampak pada keluarga, seperti interaksi antara orangtua dan anak (Crnic & Low, 2002).
Kondisi stres orangtua pun dapat berdampak pada gaya kelekatan yang mereka bina pada anak mereka yang nantinya akan berdampak pada perilaku anak, bahkan hingga anak tumbuh dewasa.
Baca juga: Gempa Cianjur, Mendikbud: Ini 2 Prioritas Utama Pendidikan
Mary Ainsworth, seorang psikolog perkembangan, merumuskan 3 pola attachment antara bayi dan pengasuhnya, dan kemudian disusul oleh Main & Salomon (dalam Litvinenko, 2020) yang menambahkan pola attachment yang keempat, antara lain secure attachment style, avoidant attachment style, ambivalent attachment style, dan disorganized attachment style, yakni:
Maka itu, penting untuk para orangtua memahami tentang fenomena masalah perilaku eksternalisasi yang terjadi pada anak dan kaitannya dengan stres orangtua dan gaya kelekatan, serta bagaimana cara mengatasi stres orangtua dan membina gaya kelekatan yang aman pada anak.
Baca juga: 3 Faktor Pengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa Selama Pandemi Covid-19
Beberapa tips yang dapat dilakukan oleh para orangtua untuk mengatasi stres yakni :