Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andaru Psikologi Untar
Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Kolom bincang masalah mahasiswa bersama Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara.

Andaru memiliki makna yang sarat akan kebahagiaan. Kolom ini mengajak pembaca membahas masalah seputar kehidupan mahasiswa, baik terkait akademik maupun non-akademik.

Bagi pembaca yang ingin berkonsultasi lebih lanjut, silahkan menghubungi Pusat Bimbingan & Konsultasi Psikologi (PBKP) Untar melalui kontak: 081292926276, email layanan: konsul.psikologi@untar.ac.id

Fakultas Psikologi Untar memiliki program sarjana, magister, dan profesi.

Lokasi: Jl. Letjen S. Parman No.1, Jakarta Barat. Website: http://untar.ac.id

Banyak Siswa dan Siswi Indonesia Lakukan Perilaku Eksternalisasi

Kompas.com - 24/11/2022, 15:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Dian Ihsan

Oleh: Naomi Soetikno (dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara) | Sherly (mahasiswa Program Studi Psikologi Profesi Jenjang Magister, Universitas Tarumanagara) | Aretha Ever Ulitua (mahasiswa Program Studi Psikologi Profesi Jenjang Magister, Universitas Tarumanagara)

KOMPAS.com - Fenomena mengenai masalah perilaku eksternalisasi ternyata telah banyak terjadi pada anak-anak di seluruh dunia.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus perundungan terhadap anak-anak paling banyak didominasi oleh siswa Sekolah Dasar (SD) (Maradewa, 2019).

Baca juga: Ini 3 Pihak yang Terlibat dalam Kasus Bullying

Perundungan yang terjadi ini seperti anak yang dituduh mencuri, anak yang dirundung oleh teman-temannya juga anak yang dirundung oleh pendidik atau bahkan anak yang melakukan perundungan terhadap guru hingga adanya perlakuan saling ejek di dunia maya (Maradewa, 2019).

Hal ini mengungkapkan, bahwa artinya tidak hanya di negara maju, tapi banyak siswa-siswi SD di Indonesia memiliki perilaku eksternalisasi.

Perilaku eksternalisasi adalah perilaku yang mengarah keluar dan menimbulkan ketidaknyamanan dan konflik dengan orang lain dan yang mengabaikan norma-norma sosial (Forns, Abad, & Kirchner, 2011).

Perilaku eksternalisasi atau disebut dengan externalizing problems termasuk di dalamnya, yaitu sindrom agresivitas, kenakalan atau perilaku melanggar aturan yang berkaitan dengan perilaku anak.

Perilaku eksternalisasi terdiri dari dua dimensi, yaitu masalah konduk dan hiperaktivitas (Goodman, 1997 dalam Achenbach & Rescorla, 2007).

Masalah konduk sendiri dapat dilihat dari tingkat keadaan emosi anak, tingkat kepatuhan, pertengkaran yang terjadi, kebohongan hingga tindakan mencuri sementara itu hiperaktivitas dapat dilihat dari kegelisahan yang terjadi pada anak, tidak tenang, mudah teralihkan, merenung, dan juga dapat dilihat dari atensinya.

Baca juga: Nadiem Percepat Perbaikan Bangunan Sekolah Terdampak Gempa Cianjur

Parenting stress atau stres orangtua adalah reaksi psikologis terhadap tuntutan menjadi orangtua yang dialami sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri dan terhadap anak, di mana perasaan negatif secara langsung disebabkan oleh tuntutan menjadi orangtua (Crnic & Low, 2002).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya stres pada orangtua, seperti, kemiskinan, terbatasnya akses sumber daya sosio-ekonomi, konteks sosial, serta permintaan tambahan pada pengasuh dari anak yang memiliki kebutuhan perkembangan dan kesehatan khusus.

Tidak hanya itu, stres dapat menimbulkan dampak pada orangtua, seperti adanya perilaku depresif pada anak, perkembangan psikopatologi pada anak, dan berdampak pada keluarga, seperti interaksi antara orangtua dan anak (Crnic & Low, 2002).

Kondisi stres orangtua pun dapat berdampak pada gaya kelekatan yang mereka bina pada anak mereka yang nantinya akan berdampak pada perilaku anak, bahkan hingga anak tumbuh dewasa.

Baca juga: Gempa Cianjur, Mendikbud: Ini 2 Prioritas Utama Pendidikan

Mary Ainsworth, seorang psikolog perkembangan, merumuskan 3 pola attachment antara bayi dan pengasuhnya, dan kemudian disusul oleh Main & Salomon (dalam Litvinenko, 2020) yang menambahkan pola attachment yang keempat, antara lain secure attachment style, avoidant attachment style, ambivalent attachment style, dan disorganized attachment style, yakni:

  • Secure attachment style merupakan satu-satunya pola yang aman bagi anak. Apabila pengasuh secara konsisten meresponi anak dengan kasih dan kepekaan, maka anak akan belajar untuk percaya bahwa mereka dapat mengekspresikan emosi negatif mereka dan mengembangkan gaya kelekatan yang aman.
  • Avoidant attachment style merupakan anak yang memiliki gaya kelekatan menghindar. Apabila kebutuhan anak diabaikan, maka anak akan mengembangkan gaya kelekatan avoidant.
  • Ambivalent attachment style merupakan gaya kelekatan yang terjadi ketika pengasuh tidak terhubung secara emosional dengan anak dan respon terhadap anak tidak konsisten.
  • Disorganized attachment style merupakan kombinasi dari avoidant attachment style dan ambivalent attachment style. Anak-anak mungkin menghindari atau menolak orangtua sebagai hasil dari perilaku yang tidak konsisten dari pengasuh mereka. Umumnya, gaya kelekatan ini juga dikaitkan dengan pengalaman traumatik dan abusif yang dialami.

Maka itu, penting untuk para orangtua memahami tentang fenomena masalah perilaku eksternalisasi yang terjadi pada anak dan kaitannya dengan stres orangtua dan gaya kelekatan, serta bagaimana cara mengatasi stres orangtua dan membina gaya kelekatan yang aman pada anak.

Baca juga: 3 Faktor Pengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa Selama Pandemi Covid-19

Beberapa tips yang dapat dilakukan oleh para orangtua untuk mengatasi stres yakni :

  • Ruang bernapas 5 menit (five minute breathing space). Hal ini dapat dilakukan ketika orang tua merasa waktu dan energi habis, memiliki waktu yang tidak fleksibel, atau sedang dalam kondisi merasa tidak puas dengan tugas yang dilakukan sebagai orangtua.
  • Relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation). Ini juga dapat diterapkan ketika orangtua sedang merasa kewalahan dengan kegiatan jadwal yang padat hingga tidak dapat menyeimbangkan waktu antara tugas kerja atau peran lain dengan tugas sebagai orangtua.
  • Afirmasi positif. Hal yang dapat diterapkan kala orangtua merasa khawatir, cemas, sedang memiliki perasaan malu terhadap anak, atau bahkan merasa tidak ingin memiliki anak.
  • Rekreasi, yang juga baik untuk diterapkan sesekali untuk refreshing kala waktu terasa habis dan cenderung melihat situasi sebagai suatu yang membebani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com