Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Unpad: Jangan Buru-buru Menilai Negatif Citayam Fashion Week

Kompas.com - 26/07/2022, 14:09 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

KOMPAS.com - Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran yang juga pegiat industri kreatif, Dwi Purnomo menanggapi cara pandang masyarakat yang buru-buru menilai negatif fenomena Citayam Fashion Week.

Menurutnya, siapapun memang boleh menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Namun, penilaian terhadap fenomena subkultur tersebut seharusnya melalui analisis dan cara berpikir yang runut agar tidak "judgemental".

“Boleh kita menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Akan tetapi untuk menuju simpulan itu harus punya cara berpikir yang runut, sehingga bisa merumuskan sesuatu yang kontekstual. Kadang kita melakukan pemikiran judgemental,” paparnya dilansir dari laman Universitas Padjadjaran, Selasa (26/7/2022).

Baca juga: Erick Thohir Sebut 9 Pekerjaan Bakal Hilang di 2030, Ada Pekerjaanmu?

Deputi Pengembangan Bisnis Kawasan Sains dan Teknologi Padjadjaran tersebut memaparkan, analisis suatu fenomena sebaiknya menggunakan model enam topi berpikir (six thinking hats) karya psikolog Edward de Bono.

Melalui model tersebut, terang dia, suatu fenomena diuraikan secara sistematis, sehingga diperoleh pemikiran atau simpulan yang komprehensif.

Model kerangka berpikir ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan momentum kreativitas dan inovasi.

Lebih lanjut dijelaskan, model berpikir tersebut terbagi ke dalam enam warna topi. Topi putih bermakna data dan fakta, warna kuning bermakna optimisme, hijau bermakna kemungkinan dan kreativitas, biru bermakna perencanaan, merah bermakna amarah, dan hitam bermakna masalah.

Berkaca pada fenomena Citayam Fashion Week, Dwi mengungkapkan bahwa cara pikir masyarakat saat ini cenderung menggunakan topi hitam atau masalah, sedangkan ada lima warna lain yang juga perlu digunakan untuk melakukan analisis.

“Kadang-kadang orang tidak maju karena hanya melihat topi hitam, padahal ada banyak topi yang menjelaskan kenapa kita harus maju,” tuturnya.

Baca juga: 5 Ciri Orang Cerdas Bukan Hanya Dilihat dari IQ, Kamu Punya Ciri-cirinya?

Kolaborasi bukan sekadar untuk menarik keuntungan

Terkait dengan pendaftaran merek Citayam Fashion Week yang menuai kontroversi, Dwi menjelaskan terlepas kontroversinya, kolaborasi merupakan sesuatu yang sah dilakukan dalam memanfaatkan kreativitas Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai.

Hanya saja, kolaborasi dilakukan bukan sekadar untuk menarik keuntungan.

“Mumpung momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya,” kata Dwi.

Menurutnya, kolaborasi perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutannya, ide tetap dimiliki oleh komunitas penggagasnya, menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan.

Karena itu, Citayam Fashion Week merupakan momentum baik untuk menjadikan fenomena tersebut menjadi inovasi disruptif.

Inovasi disruptif tersebut mampu menghadirkan kebaruan yang mampu memberi solusi terhadap kondisi yang ada.

Baca juga: Apakah Minum Suplemen Dapat Merusak Ginjal? Ini Penjelasan Dokter UGM

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com