Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Bisakah Kurikulum Merdeka Hasilkan Manusia Merdeka?

Kompas.com - 23/07/2022, 15:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MULAI tahun lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan uji coba Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) di sekolah-sekolah tingkat PAUD-SMA/SMK yang mengikuti Program Sekolah Penggerak (PSP). PSP sudah dua angkatan. Angkatan pertama diikuti 2.500 sekolah dan angkatan kedua diikuti sekitar 7.500 sekolah.

Di Tahun ajaran 2022/2023 ini, uji coba semakin masif dengan mengajak sekolah-sekolah mengikuti IKM secara mandiri dalam tiga kategori, yaitu mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi. Berbeda dengan PSP, sekolah yang ikut secara mandiri ini harus belajar dan mengembangkan IKM melalui Plafform Merdeka Mengajar, yakni sebuah Learning Manajemen System (LMS) yang secara khusus disiapkan Kemendikbudristek untuk diakses dan dipelajari para guru.

Baca juga: Sukseskan Implementasi Kurikulum Merdeka dengan 6 Strategi Ini

Tidak ada lagi pelatihan-pelatihan guru yang diselengarakan Kemendikbudristek seperti yang dilakukannya pada PSP. Kemendikbudristek tampaknya ingin membuat para guru menjadi seorang pembelajar mandiri.

Gerakan pembaruan pendidikan

Perubahan kurikulum bukan suatu yang yang baru di negara kita. Pembaruan kurikulum mestinya dilihat sebagai gerakan pembaruan pendidikan. Sudah sejak lama kita memang tidak punya lagi sekolah yang memerdekakan, yang ada hanyalah "pabrik" atau tempat penaklukan. Kita tidak punya pula guru dalam arti yang memerdekakan, yang ada hanya para pawang, komandan, penatar, atau instruktur. Kita pun tidak punya murid dalam arti yang merdeka, yang ada hanyalah anak-anak yang ditaklukkan, kader mini politik dan calon sumber daya manusia.

Sekolah, guru, dan murid yang tidak merdeka dihasilkan oleh sebuah sistem pendidikan yang tidak merdeka. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memang sarat dengan formalistik. Melalui kebijakan undang-undang sistem pendidikan nasional dan kurikulum, pemerintah mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kurikulum nasional mengatur proses belajar-mengajar semua sekolah yang ada di Indonesia, termasuk yang diselenggarakan oleh pihak swasta.

Pada masa Orde Lama, kurikulum sebagai manifestasi kebijakan negara, mengacu pada upaya pembangunan karakter bangsa sehingga sifatnya patriotis. Pada rezim Orde Baru, kurikulum memfokuskan pendidikan sebagai ‘pabrik’ sumber daya manusia (SDM) yang akan menjadi faktor penunjang pembangunan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan.

Sementara pada masa Reformasi ini, kurikulum sejak Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga Kurikulum 2013 difokuskan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia menghadapi perubahan dunia. Kini, Kurikulum Merdeka diharapkan dapat menghasilkan anak yang sejati dan tampil sebagai sosok pelajar Pancasila.

Peran negara memang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan. Negara melestarikan kekuasaannya melalui politik kebudayaan (cultural politics) yang disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau sistem kekuasaan dalam suatu masyarakat. Biasanya, hal tersebut tidak disadari dalam suatu masyarakat. Meskipun demikian, kekuasaan politik secara langsung seringkali berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk objektif atau terang-terangan dan subjektif atau secara tidak disadari yang dikenal sebagai “hidden curriculum”.

Kurikulum yang berlaku dalam suatu negara sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Biasanya para pendidik dan masyarakat luas, tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pembelajaran peserta didik. Apabila dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di Indonesia, menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum.

Menurut Bourdieu dan Passeron, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan yang sesungguhnya yang disembunyikan oleh kekuatan pedagogis.

Dunia pendidikan memang seringkali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun sebenarnya berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan. Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan, yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat.

Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan, Namun, dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk, kurikulum adalah pertarungan antar-kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan.

Baca juga: Kemendikbud Pastikan Kurikulum Merdeka Berjalan Sesuai Rencana

Maka, bisa dilihat apa yang terjadi pada masyarakat kita hari ini merupakan akumulasi hasil pendidikan kita beberapa tahun yang lalu hingga hari ini. Tidak ada masyarakat yang demokratis, terbuka, cerdas, manusiawi dan menghargai keragaman dihasilkan oleh suatu pendidikan yang mengajarkan indoktrinasi. Keadaban publik sangat paralel dengan hasil pendidikan.

Pada masa Reformasi, setelah rezim Orde Baru tumbang, kurikulum nasional yang ditujukan untuk menyiapkan generasi muda yang siap menghadapi perubahan global dengan bekal kompetensi di segala bidang, tampaknya justru secara sistematis dimanfaatkan kelompok masyarakat tertentu untuk membangun generasi agamis. Guru dan dosen pun kemudian menjadi agen utama gerakan agamis ini, kemudiaan terus menguatkan identitas keagamaan, bahkan atas nama negara. Lembaga pendidikan tidak lagi menjadi arena pemerdekaan tetapi menjadi instrumen beroperasinya gerakan ideologis.

Bersamaan dengan itu, ide pemikiran kritis menjadi tidak populer dan ditinggalkan.

Membentuk manusia merdeka

Mendidik manusia merdeka sudah dimulai sejak Generasi 1928, generasi Soekarno-Hatta. Visi para pendiri Republik Indonesia datang dari iklim humanisme politik etik Belanda, kendati kolonial tetapi para guru dan mahaguru Belanda mengajarkan tentang manusia demokratik, sikap fair play, kemanusiaan dan sebagainya.

Orang-orang Generasi 1928 ingin menciptakan negara yang bisa mendidik manusia Indonesia menjadi manusia merdeka. Maka kata-kata kucinya adalah kemerdekaan, musyawarah, dan ekonomi koperasi.

Mungkinkah IKM menghasilkan manusia yang merdeka? Mungkin! Asalkan seluruh filosofi, ekosistem, dan para pihak yang terlibat dalam sistem pendidikan mendukung tumbuhnya manusia yang merdeka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com