Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anicetus Windarto
Peneliti

Peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Anak, Keluarga dan Sekolah

Kompas.com - 23/07/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENARIK bahwa setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Ki Hadjar Dewantara pernah berpesan bahwa “setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”.

Pesan itu menjadi momentum yang tepat untuk mendalami makna dari keluarga, khususnya di zaman yang oleh pujangga Jawa kenamaan, R. Ng. Ronggawarsita III (1802-1873), telah diramalkan sebagai “zaman edan”.

Itu artinya, cara pandang terhadap keluarga di zaman ini diharapkan dapat semakin berkembang dan menjadi semacam “sekolah” yang memungkinkan setiap orang untuk belajar secara bebas dan mandiri.

Dalam konteks ini, Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik (KPG, 2001) menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja Indonesia, khususnya di era Orde Baru, memiliki makna khusus.

Artinya, mereka bukan semata-mata dipandang berdasar usia antara 6-12 untuk anak-anak dan 13-22 tahun untuk remaja, namun juga dianggap memiliki kekuatan yang disebut “liar” dan “labil”.

Karena itulah, tak jarang mereka mendapat pengawasan yang melekat (waskat), entah dalam bentuk lisan (kata-kata) maupun tulisan (simbol).

Apalagi suara mereka yang diibaratkan seperti bunyi “wek-wek-wek” dari sekumpulan bebek kerap dinilai sebagai suatu kegaduhan dari pada sebuah kreativitas.

Maka tak heran jika keberadaan mereka tampak lebih sering diabaikan daripada diperhatikan hingga saat ini.

Pada titik ini, keluarga dapat menjadi media yang efektif dan operatif untuk mengerjakan praktik pendidikan sebagaimana telah dijalankan di sekolah.

Itu artinya, keluarga dihadirkan bukan sekadar sebagai ruang-ruang kelas yang menjejali peserta didik dengan beragam ilmu belaka.

Namun, hal itu perlu juga didukung dan dibantu dengan menciptakan hubungan sosial yang berpotensi membiarkan setiap orang bebas berkreasi dan berinisiatif.

Salah satunya dengan membentuk relasi kekeluargaan atau famili-isme yang oleh Ki Hadjar Dewantara dijadikan dasar bagi gerakan pendidikan nasional, khususnya melalui Taman Siswa di tahun 1920-an.

Apa sesungguhnya kekhasan dari gerakan pendidikan itu?

Pertama, sebagai bagian penting dari gerakan nasionalis awal di Indonesia, sejak semula pendidikan dirancang dengan membebaskan anak-anak untuk bermain dan belajar menurut kemampuan dan kemauan sendiri.

Tentu saja para guru tetap mengawasi dan membimbing mereka bukan dengan mata yang menghukum, tetapi memberi keteladanan yang mencerminkan tanggungjawab dan perhatian berdasar kesetaraan dan persaudaraan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com