Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Webinar IPB: 2 Bentuk Pelecehan Seksual Ini Sering Disepelekan

Kompas.com - 19/11/2021, 13:16 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Isu kekerasan seksual di lingkungan kampus sudah berhembus sejak dulu. Belakangan ini, isu kekerasan seksual di kampus jadi topik perbincangan hangat setelah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menerbitkan Permendikbud 30 tahun 2021.

Dengan adanya Permendikbud 30 tentang Pencegahan, Penanganan Kekerasa Seksual (PPKS) di perguruan tinggi ini bisa menjadi payung hukum dan menindak siapa saja yang punya niat dan akan melakukan kekerasan seksual.

Masih berkaitan dengan kekerasan seksual di kampus, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar edukasi dengan tema serupa.

Sebagai salah satu bentuk keamanan kampus, sangat penting bagi semua akademisi memahami bentuk dari kekerasan seksual dan perundungan serta cara menghadapinya.

Baca juga: Garuda Food Buka Lowongan Kerja bagi Lulusan SMA-S1, Ayo Daftar

Bentuk kekerasan seksual

Dekan FPIK IPB Fredinan Yulianda mengatakan, harus dibangun sistem interaksi yang aman dan kondusif. Dia juga menegaskan, potensi yang mengarah pada penyimpangan dalam proses interaksi sebisa mungkin dicegah.

"Dengan demikian, kegiatan akademik bisa berjalan maksimal sesuai dengan tujuannya," terang Fredinan Yulianda seperti dikutip dari laman IPB, Jumat (19/11/2021).

Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut Nuran Abdat. Dia menyampaikan, kekerasan seksual bisa berupa beberapa tindakan, seperti ucapan, isyarat, fisik, visual, tindakan fisik maupun secara psikologis atau mental.

"Pelecehan seksual bisa dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapun. Catcalling adalah salah satu pelecehan seksual secara verbal," papar Nuran Abdat yang merupakan psikolog dari RS Ummi Bogor.

Baca juga: Mahasiswa, Lawan Pelecehan Seksual di Tempat Publik dengan 5D

Kekerasan seksual kerap dianggap sepele

Nuran mengungkapkan, kekerasan atau pelecehan seksual dan perundungan terus ada di masyarakat karena kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat.

Nuran menambahkan, tindakan yang tergolong pelecehan seksual justru kerap dianggap sepele karena sudah menjadi kebiasaan umum. Padahal korban yang mendapat perlakuan tersebut merasa tidak nyaman.

"Tak jarang korban justru dianggap berlebihan dalam menanggapi perlakuan yang sebetulnya memang sudah digolongkan dalam pelecehan seksual," tandas Nuran.

Terutama jika pelecehan hanya dilakukan dalam bentuk verbal atau isyarat. Kemudian pelaku seringkali berlindung di balik kata hanya bergurau saat melakukan tindakan tersebut.

Baca juga: Begini Cara Lapor ke Kemendikbud jika Ada Kekerasan Seksual di Kampus

Pembiaran membuat korban tak berdaya

Nuran menjelaskan, permisifisme atau pembiaran masyarakat inilah yang membuat para korban menjadi semakin tidak berdaya.

Pada beberapa kasus, korban pelecehan seksual tidak dapat berkutik saat kejadian. Hal tersebut disebabkan karena korban mengalami syok sehingga gerak motoriknya menjadi terhambat dan menyebabkan korban menjadi freeze.

Dalam kondisi ini maka dibutuhkan peran aktif dari saksi untuk memberikan bantuan. Nuran Abdat menekankan pentingnya memahami batasan sehat dalam lingkungan.

Apabila batasan tersebut dilanggar, lanjut Nuran, maka seorang individu harus yakin untuk mengatakan penolakan maupun perlawanan dengan tegas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com