Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen UGM: Kritik lewat Mural Harus Diartikan dari Berbagai Sisi

Kompas.com - 30/08/2021, 19:00 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Aksi mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo yang disertai tulisan “404: Not Found” viral di media sosial.

Apalagi, setelahnya aparat langsung menghapus dan mencari seniman pembuatnya karena dianggap melecehkan lambang negara.

Tiba-tiba saja, aksi mural di berbagai daerah yang mengkritik pemerintah juga mendapat perlakuan serupa. Ada yang dicari pelakunya, namun kebanyakan mural yang telah digambar di dinding, esok harinya sudah di cat bersih.

Menanggapi hal tersebut Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Pemerhati Seni Visual, Irham Nur Anshari, menyampaikan dalam menyikapi persoalan tersebut hendaknya perlu dipahami kembali apa sebenarnya yang menjadi permasalahan utamanya.

Baca juga: BCA Buka Magang Bakti 1 Tahun untuk Lulusan SMA-SMK, D3 dan S1

Sebab, pada kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan dua hal yakni pelecehan simbol negara dan perusakan fasilitas umum.

“Kalau terkait problem perusakan fasilitas umum ini sedikit lucu karena pada kasus tersebut yang dihapus hanya mural yang dianggap sebagai gambar Presiden Jokowi sementara mural lain di sampingnya tidak ikut dibersihkan. Ditambah lagi desainer kaos yang menggunakan imaji mural juga ikut didatangi aparat untuk minta maaf,” paparnya.

Artinya, kata dia, poin utama dari persoalan ini adalah bagaimana adanya anggapan mural/gambar/desain tersebut dianggap melecehkan simbol negara.

Namun begitu, apakah gambar tersebut adalah gambar Presiden Jokowi atau hanya mirip atau tafsir-tafsir yang berkembang yang justru perlu dipermasalahkan.

Seperti diketahui beberapa ahli gambar mencoba menafsirkan mural tidak sampai 50 persen memiliki kemiripan dengan Presiden Jokowi. Meski dalam praktiknya dapat dengan secara sederhana menafsirkan gambar dari gaya rambut dan dagu, tetapi hal itu tidak cukup menjadi alasan untuk menentukan mural tersebut sebagai upaya pelecehan presiden.

“Tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap presiden karena itu bukan foto asli, tapi hanya gambar,”tuturnya dilansir dari laman UGM. 

Baca juga: Cara Ampuh Usir Tikus di Rumah ala Ahli Tikus IPB

Irham mengatakan dalam kasus ini menunjukkan poin penting dari seni. Bagaimana seniman dapat menyampaikan kritik secara kreatif dan tersampaikan tanpa bisa diadili secara mutlak.

Pasalnya, yang ada hanya berupa gambar bukan foto atau video bahkan tidak ada nama yang menyebut gambar tersebut adalah presiden.

Lebih lanjut, Irham mengatakan dari kasus ini dapat dilihat mural sebagai media menyampaikan aspirasi atau kritik menghadapi tantangan.

Di era demokrasi saat ini justru patut dipertanyakan masih adanya pihak-pihak yang merasa gerah terhadap kritik sosial yang disampaikan melalui mural. "Sebab, tanpa ada konflik jangan-jangan ada sebuah kondisi mapan yang sebenarnya ada hierarki dominan di situ. Bentuk kritik atau aspirasi apapun hendaknya didengar dan dicari tahu,” terangnya.

Ia menjelaskan penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi bisa dikarenakan tidak berjalannya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah dengan baik.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com