Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Victor Imanuel Nalle
Akademisi Universitas Katolik Darma Cendika

Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika

Mampukah Kecerdasan Artifisial Merebut Profesi Hukum?

Kompas.com - 17/08/2021, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA era digital makin berkembang dan diikuti pula oleh kecerdasan artifisial, banyak bidang diperkirakan akan terdampak. Dampak yang paling dikhawatirkan adalah berbagai profesi terkait bidang ilmu tertentu akan tergantikan oleh kecerdasan artifisial.

Tentu saja yang muncul adalah kecemasan tentang bagaimana pasar kerja di masa depan dan bagaimana institusi pendidikan yang terjebak pada logika pasar kerja memosisikan pengembangan ilmu pengetahuan dalam situasi tersebut.

Kecemasan ini dapat dilihat pada hasil kajian Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) pada 2018 yang bertajuk Asian Development Outlook 2018: How Technology Affects Jobs. Hasil kajian tersebut menunjukkan akan tergerusnya pekerjaan di sektor ekonomi karena digantikan aplikasi dengan tingkat presisi yang lebih tinggi.

Bagaimana dengan ilmu hukum dalam situasi tersebut? Apakah profesi hukum juga akan tergerus seperti profesi lainnya seperti yang diprediksi oleh Bank Pembangunan Asia?

Tulisan singkat ini mencoba memberikan alternatif optimistis bahwa era digital mungkin tidak akan banyak akan mempengaruhi ilmu hukum, khususnya tentang kecemasan tergantikannya profesi hukum oleh kecerdasan artifisial.

Namun, ada syarat yang harus dipenuhi.

Saatnya melupakan monodisiplin dalam kajian hukum

Bagi beberapa institusi pendidikan tinggi hukum di Indonesia, analisis hukum kadang disederhanakan sebagai deduksi logis untuk merumuskan kesimpulan hukum.

Persoalan hukum disederhanakan tanpa memperhatikan “variabel pengecualian” yang dapat membuat kesimpulan menjadi begitu berbeda.

Misalnya kasus pencurian buah kakao pada tahun 2009 yang kemudian memicu perdebatan hukum.

Jika menggunakan deduksi logis saja, maka pelaku layak untuk mendapatkan sanksi pidana. Namun ada “variabel pengecualian” yang seharusnya perlu untuk diperhitungkan, misalnya: ia mengambil buah tersebut agar dapat bertahan hidup hari itu.

Kasus-kasus seperti itu mungkin banyak terjadi di berbagai tempat dengan berbagai “variabel pengecualian” yang berbeda dan unik.

Namun tentu tidak mungkin rumusan teks undang-undang memasukkan berbagai “variabel pengecualian”.

Di sinilah letak pentingnya seorang pengemban hukum (hakim, advokat, jaksa, dan lain-lain) memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan norma hukum dalam berbagai konteks yang berbeda.

Apakah kemampuan interpretasi tersebut dapat digantikan oleh kecerdasan artifisial?

Mungkin saja itu terjadi, tetapi peluang itu akan lebih besar jika analisis hukum dimaknai secara sempit sebagai deduksi yang kaku dan tertutup dari pendekatan-pendekatan disiplin ilmu lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com