Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Hukum Pidana UGM Sebut Pemberantasan Korupsi Alami Penurunan

Kompas.com - 12/08/2021, 09:34 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional tentang persepsi publik terkait pengelolaan dan potensi korupsi sumber daya alam dengan hasil 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat selama dua tahun terakhir.

Sementara laporan Transparency International pada akhir Januari 2021 juga mencatat adanya penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia yang anjlok ke posisi 102 dari 180 negara.

Baca juga: Pakar UGM: Ini Pentingnya Vaksin Covid-19 bagi Anak-anak

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan penurunan indeks persepsi korupsi terjadi dalam 2 tahun terakhir sejak adanya revisi UU KPK yang menuai kontroversi.

Selain itu, terlihat adanya kecenderungan pemberantasan korupsi yang terus menurun.

Dia mencontohkan pada kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara suap Djoko Tjandra.

Dalam penegakan kasus tersebut Jaksa Pinangki dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Sebelumnya, Jaksa Pinangki divonis 10 tahun penjara, tetapi pengadilan melakukan pemotongan masa hukuman.

Hal tersebut menunjukkan putusan pengadilan belum menunjukkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan memberikan hukuman yang lebih berat.

"Jika dibandingkan dengan kasus Gayus Tambunan dimana Jaksa Urip divonis 20 tahun penjara, tetapi pada kasus suap Djoko Tjandara justru Jaksa Pinangki hanya 4 tahun saja," kata dia melansir laman UGM, Kamis (12/8/2021).

Disamping tren penegakan korupsi yang menurun, Akbar juga menyatakan, terjadi penurunan dalam hal penindakan kasus korupsi di tanah air.

Misalnya, pada kasus korupsi Bansos Covid-19 yang menyeret mantan Mensos Juliari Batubara.

Baca juga: Pakar UGM: Jangan Lengah DBD di Tengah Pandemi Covid-19

"KPK hanya mengajukan tuntutan 11 tahun pidana penjara padahal bisa dimaksimalkan 20 tahun. Tidak seperti kasus Akil Mochtar, di mana KPK mengajukan tuntutan yang dimaksimalkan yakni penjara seumur hidup. Kondisi saat ini menunjukkan adanya penurunan dalam pemberantasan korupsi," jelas dia.

Akbar menambahkan peristiwa penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) turut berdampak kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurut dia, hal tersebut semestinya diselesaikan secara interal dan tidak sampai keluar ke hadapan publik, karena bisa menyebabkan penurunan persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.

Terlepas dari penurunan indeks persepsi publik terhadap penanganan korupsi, dia menilai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berjalan dengan baik.

Putusan MK mempermudah keleluasaan KPK dalam melakukan penyidikan. Kendati begitu, dia memandang kedepan perlu ada sinergi antara KPK dengan aparat penegak hukum lainnya.

"Lalu, memperbaiki integritas pemberantasan korupsi. Tidak hanya UU KPK yang diperbarui tetapi juga UU Korupsi," ujar dia.

Dia menambahkan, KPK juga harus melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam upaya meningkatkan pemberantasan korupsi di setiap lini.

Baca juga: Pro dan Kontra Vaksin Covid-19 untuk Anak, Ini Kata Pakar Unair

"Masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengawasan layanan publik dan melakukan pelaporan jika melihat adanya tindak korupsi," tukas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com