Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sosiolog Unair Jelaskan Efek Larangan Mudik bagi Masyarakat

Kompas.com - 12/05/2021, 16:47 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sudah menjadi tradisi rakyat Indonesia saat merayakan Hari Raya Idul Fitri harus pulang ke kampung halaman atau biasa disebut mudik.

Namun karena adanya pandemi Covid-19, tradisi mudik ini tidak bisa dilakukan dengan bebas seperti saat sebelum ada pandemi.

Bahkan larangan mudik ini dipertegas dengan dikeluarkannya Addendum Surat Edaran Satgas Covid-19 No.13 Tahun 2021.

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Prof. Bagong Suyatno menilai, larangan mudik ini membatalkan reward sosial yang diinginkan seseorang untuk bertemu dan melepas kangen bersama keluarga.

Baca juga: Mahasiswa ITS Atasi Polusi Udara dari Kendaraan dengan Cara Ini

Masyarakat tak bisa rasakan reward sosial saat mudik

Saat situasi normal, masyarakat mampu merasakan reward itu secara langsung.

"Dalam situasi normal, orang tentu rela mengeluarkan uang dan bercapek-capek untuk bisa mudik. Karena, reward sosialnya itu orang dapat merasakan langsung," kata Bagong seperti dikutip dari laman Unair, Rabu (12/5/2021).

Baca juga: Puasa Bisa Bantu Kinerja Ginjal, Ini Penjelasan Pakar Gizi IPB

Pemerintah melarang masyarakat mudik karena dianggap berpotensi membuka kembali gelombang II dan III perluasan Covid-19. Kekhawatiran ini tentu mendatangkan lebih banyak masalah daripada manfaatnya.

Bagong menyebut larangan itu sudah menjadi keharusan. Mengingat, Indonesia sudah belajar dari pengalaman negara lain terkait penyebaran Covid-19.

Menurutnya, pemecah masalah terkait kebijakan larangan mudik saat ini bukan perihal membatalkan atau mencari jalan tikus mencari celah agar bisa mudik.

Baca juga: UMM Buka Jalur Reguler Prodi Kedokteran dan Farmasi, Cek Informasinya

Ganti ritual mudik dengan teknologi

Tetapi bagaimana mencari alternatif atau bentuk lain dari mudik yang bisa dilakukan masyarakat sebagai pengganti ritual mudik tanpa bertemu secara langsung.

"Sebagai pengganti mudik, masyarakat bisa menyiasatinya dengan mudik melalui teknologi. Seperti keliling di grup-grup WhatsApp, telepon, atau bahkan video call," tegas Bagong.

Baca juga: 5 Jalur Mandiri PTN dengan Biaya Pendaftaran Termurah

Bagong menambahkan, dengan diberlakukannya larangan mudik, warga yang melanggar aturan ini tidak boleh dinilai sebagai pelanggar hukum. Tetapi lebih dipahami sebagai resistensi.

"Pelanggar aturan mudik sendiri menurut saya beda tipis antara bentuk resistensi dan pelanggar hukum. Sebetulnya, saya lebih setuju bahwa itu dipahami sebagai bentuk resistensi masyarakat. Bukan dinilai sebagai pelanggar hukum, lalu disanksi," imbuh Bagong.

Baca juga: Telanjur Mudik? Epidemiolog UGM Sarankan 3 Hal Ini

Kembali ke masing-masing pribadi

Bagong juga sepakat dengan slogan dari kampanye Doni Monardo "mudik akan membunuh orangtuamu".

Namun kebijakan larangan mudik ini juga tergantung masing-masing dari pribadi dari masyarakat Indonesia.

"Tergantung masing-masih pribadi, mereka ingin membahayakan atau tidak. Toh mereka sudah tahu risikonya dari Covid 19," tutup Bagong.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com