MEMINJAM pernyataan (Floridi, 2015), “kini umat manusia sedang memasuki realitas onlife, sebuah realitas hyperconnected. Budaya digital memengaruhi perkembangan sosial, perilaku, dan kognitif manusia, baik secara individu maupun komunal”.
Transisi menuju budaya digital, jelas Floridi, secara radikal memengaruhi kondisi manusia dalam tiga hal utama.
Pertama, pada tingkat kognitif, budaya digital mempengaruhi cara kita belajar dan memproses informasi.
Kedua, pada tingkat individu sebagai manusia, budaya digital mengubah cara kita yang berinteraksi dengan dunia.
Dan ketiga, pada tingkat sosial, kita digiring menjadi bagian yang kian melekat dengan sebuah komunitas.
Peneliti bidang teknologi digital dari Politecnico di Milano Italia, Carmen Bruno dan Marita Caninaa (2019) menyatakan, dalam masa transisi budaya digital seperti itu, kreativitas dan inovasi telah menjadi kebutuhan demokratis dan diakui sebagai salah satu keterampilan manusia yang paling penting untuk menghadapi kompleksitas dunia yang semakin ruwet.
Hal itu menjadi tantangan paling berat dunia pendidikan yang menyadang tugas dan tanggung jawab utama untuk menyiapkan generasi muda memasuki dunia masa depan.
Namun, dunia pendidikan kita, para pengambil kebijakan, penyelenggara, dan pelaksana kegiatan pendidikand (guru di sekolah) - sepertinya tak terlalu peduli atau barangkali tak terlalu memahami bagaimana caranya mengembangkan daya kreativitas generasi muda kita.
Mereka tetap saja mengandalkan kurikulum dan metode pembelajaran konservatif, menggunakan metode berpikir vertikal yang merangsang kemampuan berpikir kritis, logis dan analitis.
Pengembangan kemampuan dan keterampilan berkreativitas dilakukan ala kadarnya, melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Selebihnya, para siswa didorong untuk mengembangkan keterampilan kreativitas secara mandiri.
Dunia pendidikan tidak gencar memperkenalkan kepada para peserta didik soal pemikiran lateral yang menjadi prasyarat dasar untuk mengembangkan keterampilan berkreativitas dan berinovasi.
Belakangan ini, metode berpikir atau pemikiran lateral yang dicetuskan oleh Edward de Bono lewat bukunya The Use of Lateral Thinking (1967) semakin mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan, penyelenggara dan pelaku pendidikan di banyak negara.
Pada hakikatnya, metode berpikir lateral adalah cara memecahkan masalah dengan menggunakan pendekatan tidak langsung dan kreatif melalui penalaran yang tidak segera terlihat.
Cara berpikir ini melibatkan ide-ide yang mungkin tidak dapat diperoleh hanya dengan menggunakan logika langkah-demi-langkah yang bersifat tradisional.