Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M Chozin Amirullah
Ketua Gerakan Turuntangan

Ketua Gerakan Turuntangan | Masa kecil dan masa muda banyak dihabiskan di pesantren di Pekalongan Jawa Tengah dan Jombang Jawa Timur. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada, melanjutkan pascasarjana di Ohio University, USA. Pernah mendapatkan amanah sebagai Ketua Umum PBHMI 2009/2011 dan kini memimpin gerakan Turuntangan, sebuah gerakan yang mengajak anak muda untuk jangan hanya urun angan melainkan turun tangan langsung menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat di sekitarnya.

Mengenal Apa Itu Santri dan Cantrik

Kompas.com - 28/04/2021, 15:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: M Chozin Amirullah*

KITA pasti familiar dengan istilah santri, istilah khusus untuk peserta didik (siswa) di pondok pesantren. Sama-sama siswa, kenapa musti dibedakan namanya?

Santri adalah anak-anak didik yang datang dari jauh untuk khusus belajar tentang ilmu agama dan tinggal di sebuah kompleks pendidikan yang disebut pesantren, di bawah asuhan para kyai.

Walaupun, seiring dunia pesantren semakin berkembang, kurikulum pendidikannya tidak hanya semata berisi pelajaran agama tetapi juga pelajaran umum.

Baca juga: Baca juga: Maksimalkan Potensi Ekonomi Syariah, BI Akan Bentuk Holding Ekonomi Bisnis Pesantren

Oleh karena itu, istilah santri bukan hanya bagi yang belajar ilmu agama saja, melainkan juga bagi yang belajar ilmu umum asalkan tinggal di pondok pesantren.

Dalam tradisi pesantren, konsep "santri", sebenarnya tidak muncul begitu saja. Istilah santri bermula ketika seorang kyai kenamaan bernama Mohammad Besari (wafat 1747 M) mulai membuka pusat pendidikan agama Islam - yang kemudian disebut pondok pesantren - secara massal di desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo sekitar tahun 1600-an.

Pusat pendidikan agama tersebut diberi nama Pesantren Gebang Tinatar. Gebang adalah sejenis nama pohon yang menjulang tinggi seperti palem, tinatar artinya pendidikan atau perkaderan.

Sistem pendidikan di Pesantren Gebang Tinatar mampu memesona kalangan elite bangsawan Mataram Islam di Solo. Anak-anak bangsawan banyak yang dikirim untuk nyantri di sana.

Sunan Pakubuwono II adalah salah satu anak raja yang pernah nyantri di situ. Selain itu, nama-nama besar seperti pujangga Ronggowarsito dan Pangeran Diponegoro juga tercatat pernah menjadi santri di Gebang Tinatar.

Baca juga: Rusun Mini, Solusi Hunian Pondok Pesantren di Tengah Keterbatasan Lahan

Banyaknya elite bangsawan yang nyantri menjadikan pesantren Gebang Tinatar sangat dikenal di seluruh Nusantara sehingga jumlah santrinya sangat banyak. Sebuah sumber mengatakan jumlah santrinya mencapa 16.000 orang.

Kecemerlangan pesantren Gebang Tinatar asuhan Kyai Besari ini menjadi tonggak baru berkembangnya sistem pendidikan keagamaan di Nusantara.

Pesantren Gebang Tinatar mengubah sistem pendidikan, terutama di keraton, dari yang semula kyai dipanggil ke keraton untuk mengajarkan agama, berubah menjadi keraton mengirimkan anak-anaknya kepada kyai di pesantren.

Oleh karena itu, pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari dianggap sebagai pesantren tertua dan merupakan akar dari munculnya pesantren-pesantren di Nusantara.

Apa bedanya dengan cantrik?

Lalu, apakah sebelum Pesantren Gebang Tinatar belum pernah ada sistem pendidikan yang mensyaratkan siswanya bermukim di lokasi? Jawabannya ada.

Bahkan sebelum mendirikan Gebang Tinatar, Kyai Mohammad Besari sendiri belajar kepada Kyai Donopuro di Desa Sentono, tidak jauh dari Desa Tegalsari. Akan tetapi, sistem pendidikannya waktu itu bersifat padepokan, siswanya tidak terlalu banyak dan berasal dari lingkungan terdekat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com