KOMPAS.com - Belakangan ini media sosial (medsos) tengah hangat memperbincangkan tentang fenomena ghosting.
Ghosting merupakan Bahasa Inggris yang mempunyai makna dalam bahasa Indonesia berbayang.
Namun setelah viral di media sosial, ghosting juga dimaknai dalam hal lain. Bagi kalian yang belum tahu, ghosting adalah pemutusan komunikasi sepihak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Dari segi psikologis, Dosen Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Ilham Nur Alfian, M.Psi., mengungkapkan, fenomena ghosting adalah fenomena yang wajar dalam proses komunikasi dalam sebuah relasi.
Baca juga: Banyak Hoaks Info Kesehatan di WhatsApp, Ini Kata Dosen Unpad
Menurut Ilham, fenomena ghosting telah ada bahkan sebelum adanya pola komunikasi media sosial.
Perkembangan teknologi informasi memiliki pengaruh besar terhadap model-model media sosial dan fenomena ghosting. Apalagi dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini.
"Jadi ada situasi memang ketika orang itu kemudian memutus hubungan atau komunikasi karena ada beberapa sebab. Bisa jadi sebabnya itu salah satunya sudah nggak merasa nyaman lagi berkomunikasi atau menjalin hubungan dengan partnernya," terang Ilham seperti dikutip dari laman unair.ac.id, Sabtu (13/3/2021).
Baca juga: Apa itu Love Scam dan Upaya Pencegahannya? Begini Kata Dosen UGM
Ilham menerangkan, dalam situasi pandemi memiliki pengaruh tersendiri dalam pola komunikasi dengan adaptasi baru.
Permasalahan ghosting, lanjut Ilham, dapat muncul begitu saja dalam situasi ini. Hal tersebut karena orang-orang merasa tidak ada sesuatu yang bervariasi dalam proses interaksi jika tidak dilakukan secara langsung.
Ilham mengungkapkan, para korban ghosting sebenarnya akan lebih mudah beradaptasi.
Hanya saja perlu diwaspadai adanya kompensasi, jika pernah menjadi korban bisa jadi ada keinginan untuk menjadi pelaku.
"Mungkin itu tapi bukan karena trauma. Tapi cuma ingin membalas begitu saja sebenarnya. Jadi siklusnya jadi pelaku bisa jadi, unsur traumatiknya sebenarnya nggak," tutur dosen yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan 1 Fakultas Psikologi Unair ini.
Pada umumnya, peluang atau risiko korban ghosting merasa menyalahkan dirinya sendiri. Misalnya menyalahkan diri sendiri karena kandasnya suatu hubungan atau relasi.
"Nah justru aspek-aspek semacam itu dihilangkan. Jadi untuk korban ghosting seharusnya tidak menyalahkan dirinya sendiri. Anggap saja itu adalah kognitif, situasi semacam ini adalah situasi yang umum, yang wajar dalam sebuah relasi," tegas Ilham.
Ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan para korban ghosting. Mereka harus tetap menumbuhkan kepercayaan bahwa ada orang-orang yang lebih baik dari pasangan terdahulu.
"Hal itu dilakukan dengan cara mencari dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekat yang memang selama ini bisa memberikan support," tandas Ilham.
Baca juga: Dosen UNY: Ini Dampak Bullying bagi Korban dan Pelaku, Berikut Pencegahannya
Ilham menambahkan, perlu dipahami bahwa fenomena ghosting adalah fenomena umum dalam komunikasi. Harus siap secara mental dan kognitif dalam komunikasi virtual. Termasuk dalam banyak varian yang lebih menyenangkan.
"Harus siap dengan model-model interaksi virtual. Peluang cepat merasa jenuh pasti ada. Dalam konteks virtual komunikasi, variasi dengan mencari (relasi) yang baru atau lain lebih besar. Aspek atraktifnya cenderung lebih banyak," tutup Ilham.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.