Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar UNS: Nama Awal Surakarta adalah Sala

Kompas.com - 18/02/2021, 12:53 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Masyarakat Kota Bengawan sering bingung membedakan sebutan Solo, Sala, dan Surakarta.

Kerancuan ini tidak hanya dialami oleh masyarakat kota itu, tapi juga dialami oleh masyarakat di berbagai daerah.

Baca juga: UNS Siap Kuliah Tatap Muka Asal Peroleh Izin

Masyarakat ada yang menyebut Kota Bengawan dengan nama Solo atau Surakarta.

Selain itu, dalam hal penulisan dan pelafalannya pun, masyarakat ada yang suka menggunakan nama Solo dan ada juga yang Sala.

Lalu, manakah dari yang benar dari tiga nama itu?

Untuk mengetahui jawabannya terkait lahirnya nama Solo, Sala, dan Surakarta, maka ada penjelasan yang jelas dari Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNS Prof. Warto.

Warto menguraikan sejarah dibalik nama Solo dan Sala. Dia mengaku, pada awalnya nama yang benar adalah Sala.

Alasannya, karena kota yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo ini dulunya merupakan sebuah desa "perdikan" yang bernama Desa Sala.

Dahulu, desa ini dipimpin oleh seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau biasa disebut juga Kiai Sala.

"Itu nama yang punya sejarah panjang. Jadi, Kota Solo yang sekarang kita kenal itu kan awalnya dari sebuah perpindahan kerajaan dari Kartosuro ke Surakarta (Desa Sala) tahun 1745," ucap dia melansir laman UNS, Kamis (18/2/2021).

Lalu, seiring kedatangan orang-orang Belanda, penyebutan nama Sala yang semula menggunakan huruf "a" berubah menjadi "o", sehingga lafal namanya berubah menjadi Solo.

"Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Dan, alasannya Sala jadi Solo karena orang Belanda susah ngomong Sala," ucap pria yang juga jadi Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah UNS.

Baca juga: Cegah Covid-19, Pakar UNS Buat Curcuma Pro demi Tingkatkan Imunitas

Dia menjelaskan, Desa Sala yang awalnya merupakan desa perdikan berubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat.

Pemilihan Desa Sala sebagai lokasi baru keraton didasarkan pada pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan J.A.B. van Hohendorff usai Keraton Kartasura hancur akibat Geger Pecinan.

Dalam sejarahnya, bilang dia, Geger Pecinan terjadi akibat pemberontakan pada tahun 1740 yang berhasil menghancurkan Keraton Kartasura.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com