KOMPAS.com - Seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun berkesempatan membaca titik timbul yang digunakan tentara untuk membaca dalam keadaan gelap.
Murid Royal Institution for Blind Youth itu lantas memiliki ide untuk mengembangkannya sebagai alfabet yang dapat digunakan untuk membaca dan menulis bagi tunanetra.
Memanfaatkan enam titik di setiap hurufnya, dia berhasil merancang alfabet dengan titik-titik timbul. Tak hanya alfabet, dia juga merancang titik untuk notasi musik.
Dia adalah Louis Braille.
Louis Braille lahir pada 4 Januari 1809. Pada usia tiga tahun, ia mengalami kecelakaan ketika bermain dengan perkakas ayahnya. Perkakas itu selip dan tertancap tepat di mata kanannya.
Akibatnya, Louis mengalami sympathetic ophthalmia dan mengalami kebutaan total.
Dilansir dari Forbes, Rabu (4/1/2023), Louis adalah anak yang brilian. Dengan dukungan dari orangtua, ia berhasil beradaptasi dengan kondisinya.
Ia termasuk anak yang aktif. Dengan menggunakan tongkat buatan ayahnya, Louis mampu menavigasi jalanan desa dan tanah keluarganya.
Pada 1819, keluarganya pindah ke Paris saat Louise berusia 10 tahun. Dia pun diterima di Royal Institution for Blind Youth.
Di sekolahnya, Louis menerima buku yang hurufnya dicetak timbul pada kertas tebal. Murid-murid tunanetra meraba tulisan di buku itu dengan jari-jari mereka.
Sistem itu baik, tetapi kurang bisa membantu mereka menulis secara mandiri, terutama bagi tunanetra yang ingin menulis untuk sesama tunanetra.
Sebab, proses menulisnya membutuhkan alat cetak atau pres agar huruf-hurufnya timbul. Selain itu biayanya pun lebih besar.
Namun, sistem membaca tunanetra ini mengalami inovasi berkat pertemuan Louis dengan Charles Barbier de la Serre.
Dikutip dari ensiklopedia Britannica, ketertarikan Louis pada sistem kepenulisan bermula ketika Charles Barbier berkunjung ke sekolahnya.
Barbier adalah mantan prajurit artileri French Royal Army yang turut berperang dalam Revolusi Perancis.