KOMPAS.com - Pemeriksa fakta di Indonesia perlu menaruh perhatian serius terhadap upaya historical revisionism atau reinterpretasi sejarah oleh aktor-aktor lama menjelang Pemilihan Umum 2024.
Hal tersebut disampaikan Celine Isabelle Samson dari lembaga nirlaba VERA Files Philippines, yang berpengalaman menghadapi misinformasi dan disinformasi selama Pemilu Filipina 2022.
Pada Pemilu Filipina 2022, Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr, yang merupakan putra dari mantan diktator Ferdinand Marcos Sr, keluar sebagai pemenang dan terpilih menjadi presiden.
Berbicara di Indonesia Fact-Checking Summit, Rabu (30/11/2022), Celine mengungkapkan, Pemilu Filipina diwarnai oleh banjir misinformasi dan disinformasi di media sosial.
Baca juga: AMSI: Hulu Produsen Hoaks di Indonesia Belum Dapat Dilacak
Menurut dia, Bongbong menjadi figur yang paling diuntungkan dengan situasi tersebut.
"Ada disinformasi yang mencoba menaikkan namanya (Bongbong), memberinya kredensial yang tidak benar," kata Celine.
"Misalnya, bahwa dia lulus dari Universitas Oxford. Dia bahkan mengeklaim ini di situsnya. Tapi ini tidak benar. Ini bahkan dibantah langsung oleh Universitas Oxford," tuturnya.
Dia menambahkan, beredar pula upaya untuk mengglorifikasi masa kepemimpinan ayah Bongbong, Ferdinand Marcos Sr, yang berkuasa di Filipina selama 1966-1986.
Misalnya, narasi yang mengeklaim bahwa rezim otoriter Marcos Sr tidak korup dan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa itu.
Baca juga: Strategi Efektif Cegah Hoaks Perlu Disiapkan Jelang Pemilu 2024
Bukti-bukti menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun berkuasa, Marcos Sr, keluarganya, dan kroni-kroninya telah menjarah miliaran dollar kekayaan Filipina melalui tindakan penggelapan dan praktik korupsi lainnya.
Saat menjadi presiden, Marcos Sr juga memberlakukan darurat militer di Filipina pada 21 September 1972.
Di bawah darurat militer, dia memiliki kekuatan luar biasa, termasuk kemampuan untuk menangguhkan surat perintah habeas corpus.
Marcos Sr mengumumkan berakhirnya darurat militer pada Januari 1981, tetapi ia terus memerintah secara otoriter di bawah berbagai format konstitusional.
Baca juga: Media di Indonesia Masih Tergolong Minim Disinformasi Berdasarkan GDI